Tsunami dan Korupsi
Musibah tsunami tidak saja dianggap sebagai bencana alam nasional, tetapi juga telah dipandang sebagai bencana alam berkapasitas internasional. Perorangan ataupun badan/organisasi internasional memberikan perhatian dan bantuan tanpa batas. Tanpa batas bukan dalam arti tidak terbatasnya jumlah uang dan barang yang diberikan tetapi lebih diartikan batas yang didasarkan perbedaan suku, agama ataupun faktor politik yang kadang dapat memisahkan kerekatan kita dalam hidup berbangsa.
Sikap masyarakat Indonesia sendiri sangat membanggakan dan membahagiakan terlihat dari ketulusan dan keikhlasan sa-eyeg sa-eko proyo berbagi penderitaan tanpa mempertanyakan suku ataupun agama yang dipeluk si penerima bantuan. Langkah-langkah yang diambil pemerintah juga pantas kita hargai dan bahkan telah dihargai pula oleh negara maupun lembaga asing, meskipun ada saja di antara kita yang lebih condong memilih memberikan bantuan berupa kritikan, terbungkus dalam wacana yang sekilas tampak benar tetapi perlu dipertanyakan maksud dan manfaatnya.
Pemberian bantuan tersebut merupakan sikap yang terpuji sebagai sesama manusia dalam berbagi rasa. Bencana juga menunjukkan kemahakuasaan Tuhan. Bukankah bencana serupa terjadi pula di negeri maju Jepang beberapa tahun yang lalu di mana gempa telah meluluhkan lantakkan Osaka meskipun Jepang mempunyai alat pendeteksi gempa yang super canggih. Dari peristiwa-peristiwa tersebut, perlu kita camkan sepenggal kebenaran ajaran agama yang dapat dijadikan bekal jawaban dan ketabahan kita sebagaimana firman Tuhan: Apabila bumi diguncang (oleh Tuhan) dengan dahsyatnya, dan bumi memuntahkan apa yang dikandungnya, manusia cuma bisa bertanya, apa yang terjadi sebenarnya.
Di sisi lain derasnya bantuan baik dari negara asing maupun dalam negeri dapat menimbulkan perbuatan yang menyimpang berupa kejahatan korupsi. Tanpa perlu ditampilkan data seutuhnya, masyarakat sulit menampik kebenaran sering terjadinya kasus penyimpangan dan penggelapan dana bantuan bencana alam. Pimpinan nasional pun memahami dan mengakui kebenaran kemungkinan penyimpangan, sehingga menekankan perlunya perhitungan dan pertanggungjawaban penggunaan dan cara menggali dana bantuan secara transparan. Lebih jauh lagi ditekankan bahwa apabila terjadi korupsi terhadap dana bantuan, maka pelaku koruptor perlu dihukum berat.
Tekad tersebut perlu kita dukung dan hargai karena di samping didasarkan tekad yang mulia juga memiliki dasar pijakan hukum yang berlaku.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam pasal 2 ayat (1 dan 2) pada pokoknya mengatur: setiap orang yang secara melawan hukum melakukan korupsi dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun dan denda paling sedikit dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu miliar rupiah. Sedangkan ayat (2) menyebutkan: dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dilakukan dalam keadaan tertentu (dalam penjelasan ayat tersebut salah satu yang termasuk keadaan tertentu adalah pada waktu terjadi bencana alam nasional), terhadap koruptor dapat dijatuhkan pidana mati.
Penjelasan tentang pengertian melawan hukum dalam pasal tersebut bukan hanya perbuatan yang melanggar ketentuan dalam undang-undang, tetapi termasuk perbuatan tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat. Ketentuan ancaman pidana mati dalam pasal tersebut sekilas terkesan ganas, tetapi jika kita cermati dengan benar koruptor yang melakukan kejahatan pada waktu terjadi bencana alam rasanya lebih ganas dari tsunami.(Dr Hendar Soetarna SH adalah Staf Ahli Kejaksaan Agung RI, pemerhati masalah sosial)
Tulisan ini diambil dari Radar Jogja, 10 Januari 2005