Transparansi Pungutan Uang Sekolah [19/07/04]

Setelah bersusah-payah menembus PSB, bukan berarti selesai urusan. Ketika wali murid harus mendaftarkan ulang anaknya ke sekolah yang dipilihnya, persoalan baru akan memusingkan kepala mereka. Yakni, berupa keharusan untuk membayar uang sekolah.

Sudah menjadi rahasia umum, setiap menjelang tahun ajaran baru, para orang tua selalu mengeluh tentang besar sumbangan atau pungutan uang sekolah yang makin lama makin tinggi. Di sekolah-sekolah negeri -yang logikanya- semua biaya operasional sudah disubsidi negara, ternyata, besar uang pungutan yang harus dibayar orang tua tidak kalah dengan sekolah swasta, bahkan ada yang lebih mahal.

Di SDN Sawotratap I Sidoarjo, misalnya, sekitar 50 orang calon wali murid diberitakan terpaksa menggelar aksi unjuk rasa karena kepala sekolah dinilai secara sepihak menetapkan uang gedung Rp 500 ribu per siswa (Jawa Pos, 17 Juli 2004). Di Batu, biaya daftar ulang bagi siswa yang diterima di SMPN I Batu bahkan mencapai Rp 1.750.000 per siswa. Di sejumlah sekolah lain, uang daftar ulang mungkin sekitar Rp 400-500 ribu, tetapi jumlah itu ternyata belum termasuk uang buku, uang seragam, dan lain-lain.

Di Jakarta, Surabaya, dan kota-kota besar lain, sejumlah sekolah favorit dilaporkan bahkan mematok uang gedung hingga jutaan rupiah. Bagi para wali murid, ketika besar pungutan uang sekolah negeri dan swasta tidak lagi beda, pilihan yang harus mereka hadapi pun menjadi makin sulit.

Transparansi
Di era berlakunya kebijakan otonomi sekolah, masing-masing sekolah memiliki otoritas dan kemandirian untuk menentukan sendiri -tak terkecuali dalam menentukan besar uang pungutan. Di atas kertas, sepanjang keputusan sekolah itu disetujui komite sekolah dan pihak wali murid bersedia secara sukarela membayarnya, maka berapa pun besar pungutan yang ditetapkan sekolah menjadi sah-sah saja.

Di sejumlah sekolah favorit, konon ada beberapa wali murid yang tak segan merogoh koceknya hingga puluhan juta rupiah untuk disumbangkan kepada sekolah yang menerima anaknya. Sebagian wali murid lain terkadang juga dengan sukarela memberi sekolah sejumlah komputer, selain sebagai ucapan rasa syukur karena anaknya telah berhasil masuk sekolah favorit, mereka pun memang dengan ikhlas menyumbang demi kemajuan pendidikan di sekolah anak-anaknya.

Salahkah orang tua yang bersedia membayar uang sekolah jutaan rupiah? Salahkah sekolah yang menetapkan uang gedung atau uang sekolah yang di mata orang kebanyakan mungkin dinilai sangat mahal?

Hingga saat ini, harus diakui belum ada batasan atau standar yang jelas tentang berapa besar uang pungutan yang diperbolehkan ditarik sekolah dari wali murid. Benar, Dinas Pendidikan berkali-kali mengimbau agar menetapkan uang sekolah harus benar-benar mempertimbangkan nilai kepatutan dan mendapat persetujuan dari komite sekolah.

Tetapi, yang menjadi soal kemudian sebetulnya bukan sekadar berapa besar jumlah uang sekolah yang dikategorikan patut atau tidak patut tersebut. Melainkan, yang terpenting adalah transparansi pengelolaan dan pemanfaatan uang sekolah itu.

Jadi, uang itu dialokasikan untuk apa saja dan siapa sebetulnya yang menikmati hasil dari uang sumbangan wali murid tersebut. Dalam hal ini, keluhan dan keresahan pihak wali murid tentang uang sekolah, biasanya, berkaitan dengan dua hal.

Pertama, proporsi alokasi dana sumbangan yang diperoleh sekolah dari para wali murid. Selama ini, bukan rahasia bahwa dana yang dikumpulkan sekolah dari wali murid umumnya lebih banyak untuk kepentingan yayasan, kesejahteraan guru dan pegawai, atau untuk pemeliharaan dan perbaikan sarana fisik sekolah. Tetapi, yang benar-benar untuk mendukung langsung perbaikan kualitas proses belajar-mengajar belum optimal.

Di berbagai sekolah, saat ini, kita bisa lihat berapa di antara sekolah-sekolah itu yang telah memiliki koleksi perpustakaan representatif, berapa jumlah sekolah yang tiap ruang kelasnya memiliki peta, bola dunia, duplikat tengkorak manusia, gambar anatomi tubuh manusia, atau alat peraga belajar yang lain.

Bandingkan hal itu dengan alokasi anggaran yang dipergunakan untuk membangun gedung atau ruang kelas baru. Misalnya, sekolah di Surabaya yang setiap tahun mematok uang pungutan jutaan rupiah, ternyata, uang itu bukan dipergunakan untuk kepentingan anak didik, melainkan justru untuk kepentingan lain yang tidak relevan bagi anak para wali murid yang mengeluarkan uang jutaan itu, semisal untuk membiayai pembangunan gedung sekolah lain yang dikelola yayasan yang sama.

Kedua, pertanggungjawaban penggunaan dana sumbangan dari wali murid oleh pihak sekolah. Berbeda dengan dana pribadi, sumbangan atau pungutan uang sekolah sesungguhnya termasuk dana publik yang proses penggunaannya harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, yakni para wali murid secara keseluruhan.

Sesuai dengan prinsip akuntabilitas publik, berapa pun besar sumbangan yang diperoleh sekolah, harus jelas dimanfaatkan untuk apa dan seluruh wali murid harus memiliki akses untuk melihat rincian penggunaan dana itu.

Pengalaman selama ini, untuk mencegah agar tidak muncul pertanyaan-pertanyaan kritis dari wali murid, biasanya, pihak sekolah atau yayasan cenderung lebih memilih sesedikit mungkin membuka soal rincian penggunaan dana sumbangan dari wali murid itu.

Kalau pun ada pertanggungjawaban, biasanya itu hanya pada lingkaran orang-orang yang terbatas jumlahnya. Model-model pertanggungjawaban dana yang berbau slintutan seperti itu, selain terkesan tidak transparan, dalam jangka panjang bisa berdampak merugikan pihak sekolah karena yang muncul di benak wali murid dan masyarakat pada umumnya bukan sekadar tanya-tanya, tetapi krisis kepercayaan kepada manajemen sekolah.(Bagong Suyanto, anggota Dewan Pendidikan Jatim)

Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 19 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan