Transparansi Pengadaan Pemerintah

Presiden Joko Widodo di beberapa kesempatan selalu menekankan pentingnya pemanfaatan teknologi informasi dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa agar lebih transparan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun mengamini, bahkan belakangan menyarankan tidak hanya mengandalkan e-procurement, tetapi juga e-katalog bagi semua pengadaan barang dan jasa di kementerian, lembaga pemerintah, dan pemerintah daerah.

Memang pemanfaatan teknologi informasi dalam sistem pengadaan merupakan inovasi yang terus dikembangkan untuk menggantikan pengadaan konvensional yang tak lagi dianggap efisien, efektif, minim transparansi, serta berisiko menimbulkan kongkalikong antara penyelenggara dan peserta lelang.

Tingkat efisiensi
Berdasarkan data monitoring dan evaluasi Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Monev LKPP), tingkat persentase efisiensi lelang elektronik tahun 2015 adalah 10 persen. Tingkat efisiensi cenderung fluktuatif, tetapi jika diasumsikan belanja pengadaan secara nasional sekitar Rp 900 triliun, rata- rata penghematan per tahun mencapai Rp 90 triliun.

Ironisnya sistem ini belum efektif diterapkan di level kementerian dan lembaga, termasuk pemda. Berdasarkan catatan LKPP tahun 2017, pemanfaatan sistem elektronik baru sekitar Rp 403 triliun atau 40 persen dari total Rp 994 triliun belanja pengadaan secara nasional. Padahal, kewajiban 100 persen pengadaan secara elektronik, baik pusat maupun daerah, telah diamanatkan Peraturan Presiden No 54/2010  dan Instruksi Presiden No 1/2013 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.

Minimnya pemanfaatan sistem elektronik sepertinya akan menghambat sistem ini dijadikan salah satu sarana pencegahan korupsi. Setidaknya terkonfirmasi dari hasil pantauan ICW selama tahun 2017, di mana dari total 576 kasus korupsi yang ditangani aparat penegak hukum, ternyata 42 persen atau 241 kasus terkait korupsi pengadaan barang dan jasa. Jumlah itu menunjukkan tren kenaikan dibandingkan dengan tahun 2016 yang hanya berjumlah 195 kasus korupsi.

Memang tak ada jaminan penerapan sistem elektronik akan menghilangkan sepenuhnya korupsi di sektor pengadaan. Bagaimanapun sistem elektronik tetap membutuhkan campur tangan manusia sehingga efektivitasnya membutuhkan integritas penyelenggara dan peserta pengadaan.

Kasus korupsi pengadaan Videotron tahun 2012 di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah membuktikan bagaimana proses lelang elektronik tetap bisa direkayasa karena pelaksana pengadaan di intervensi oleh perusahaan peserta tender yang pemiliknya notabene merupakan anak orang penting di Kemenkop dan UKM saat itu.

Pada kasus lain, seperti KTP elektronik, tergambar secara terang benderang bagaimana rekayasa pengadaan dilakukan bahkan dari sejak rencana anggaran pengadaan diputuskan bersama politisi DPR.

Urgensi transparansi
Maraknya praktik korupsi di sektor pengadaan merupakan tantangan tersendiri di tengah upaya pemerintah melakukan efisiensi. Oleh karena itu, penting menjaga komitmen bersama mengefektifkan ekosistem pengadaan, baik dalam pelaksanaan regulasi, menjaga integritas lembaga dan petugas pengadaan, platform pengadaan serta mekanisme transparansi maupun akuntabilitasnya.  

Komitmen untuk mengefektifkan ekosistem pengadaan yang transparan dan akuntabel itu harus menyentuh tiga area utama, yaitu keterbukaan pemerintah, integritas sektor swasta, dan kontrol publik sebagai penerima manfaat utama.

Pemerintah memegang peran penting karena selain memiliki otoritas anggaran sekaligus penyelenggara pengadaan sehingga komitmen atas keterbukaan dan akuntabilitas adalah hal mutlak. Langkah sederhana yaitu cukup mengumumkan rencana umum pengadaan (RUP) yang akan dilaksanakan setiap tahunnya dalam portal setiap institusi dan portal pengadaan nasional yang disediakan LKPP sesuai kewajiban Pasal 112 (2) Perpres No 54/ 2010.

Instrumen pengawasan
Keterbukaan RUP ini sangat penting karena menjadi instrumen bagi pengawas internal dan publik untuk mengawasi dan mencegah setiap pengadaan dari pemburu rente, termasuk dari kalangan politisi. Selain itu, publikasi RUP juga dapat meningkatkan peran ekonomi domestik, khususnya UMKM, dalam mempersiapkan kebutuhan barang dan jasa pemerintah. 

Sayangnya kepatuhan publikasi RUP pada portal pengadaan nasional masih sangat rendah.  Untuk tahun 2017, masih terdapat 10 kementerian dan 16 lembaga yang sama sekali tak mengisi RUP di aplikasi evaluasi dan pengawasan realisasi anggaran (Monev TEPRA LKPP). Jadi, untuk transparansi dan efisiensi anggaran pengadaan, rasanya Presiden masih punya pekerjaan rumah untuk menertibkan para pembantunya sendiri.

Pada area yang kedua adalah membangun mekanisme insentif dan daftar hitam (blacklist) yang terintegrasi secara nasional kepada perusahaan penyedia. Seperti diketahui, pemerintah baru saja menerbitkan Perpres No 13/2018 tentang prinsip mengenali pemilik manfaat korporasi (beneficial ownership).

Selain itu, Badan Standardisasi Nasional (BSN) juga telah mengembangkan manajemen antisuap berdasarkan ISO: 37001. Jika kedua standar ini dijadikan persyaratan utama bagi peserta pengadaan, tentu akan mempersempit ruang gerak perusahaan- perusahaan bodong terlibat dalam kegiatan pengadaan.

Tentu mekanisme blacklist tetap harus diberikan jika terbukti melakukan kecurangan, sedangkan yang tertib patut diberikan insentif, misalnya jaminan dan kemudahan kredit untuk menambah modal dan pengembangan jenis usahanya.

Akses publik
Pada area yang ketiga adalah membuka akses publik terhadap dokumen pengadaan. Fakta saat ini, dokumen lelang dan kontrak masih dipahami penyelenggara pengadaan sebagai dokumen tertutup karena dianggap mengandung rahasia perusahaan/dagang sehingga dikhawatirkan akan mengganggu persaingan usaha tidak sehat.

Argumentasi itu sebenarnya sudah terbantahkan karena sejumlah putusan Komisi Informasi, seperti putusan Nomor 358/IX/KIP-PS-M-A/2011, Nomor 026/II/KIP-PS-M-A/2012, dan Nomor 374/XII/KIP- PS-A/ 2013, telah menyatakan bahwa dokumen lelang dan kontrak pengadaan sebagai dokumen terbuka bagi publik karena tidak menyebabkan terganggunya persaingan usaha tidak sehat serta hak atas kekayaan intelektual.

Namun, agar keterbukaan dokumen lelang dan kontrak pengadaan menjadi pemahaman bersama, seharusnya dicantumkan dalam revisi Perpres No 54/2010. Selain itu, bisa disusun surat keputusan bersama atau nota kesepahaman antara Komisi Informasi, LKPP, Bappenas, dan Kementerian Dalam Negeri bahwa dokumen lelang dan kontrak merupakan dokumen terbuka.

Intinya reformasi pengadaan yang inovatif tetap harus diiringi komitmen transparansi dan akuntabilitas, dilaksanakan secara sistematis, terintegrasi serta diawasi publik sehingga potensi patgulipat di setiap tahap pengadaan bisa dicegah semaksimal mungkin.

Agus Sunaryanto Penulis adalah Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch 

Tulisan ini disalin dari Harian Kompas, 15 Maret 2018

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan