Transparansi di BRR; Banyak Keluhan dan Ketidakpuasan dari Masyarakat
Banyaknya keraguan masyarakat terhadap kinerja Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias dijawab lembaga itu melalui penandatanganan kesepakatan kerja sama dengan Transparency International Indonesia yang berlangsung di Medan, Sumatera Utara, Selasa (7/11).
Penandatanganan kerja sama itu dimaksudkan untuk menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pembangunan kembali Aceh dan Nias akibat bencana alam gempa bumi dan tsunami akhir tahun 2004.
Kepala Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias Kuntoro Mangkusubroto mengakui, citra lembaga yang dipimpinnya itu tidak menggembirakan karena banyaknya keluhan, laporan, dan ketidakpuasan masyarakat terhadap BRR.
Satu tahun ini saja ada 1.002 kasus yang dilaporkan, baik oleh masyarakat, internal BRR, maupun temuan lembaga lain. Melalui kerja sama itu kami berupaya membentuk model pembangunan agar bisa menjadi contoh di tempat lain, katanya.
Dari 1.002 kasus itu, 131 laporan berisi dugaan korupsi dan tujuh di antaranya sudah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kebanyakan laporan kasus dugaan korupsi, kata Kuntoro, terkait dengan bidang pengadaan.
Pakta integritas
Dana sebesar Rp 9,6 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), ditambah banyaknya dana dari donor luar negeri yang dikelola BRR, memang rawan penyelewengan. Beberapa waktu lalu, Indonesian Corruption Watch menemukan besarnya penyelewengan anggaran di lima bidang pekerjaan BRR yang bernilai Rp 23,96 miliar.
Kami mencoba mengoperasionalkan kembali pakta integritas. Kami mencoba mengelola masukan-masukan dan keluhan-keluhan yang datang dari masyarakat melalui unit kerja di daerah untuk membangkitkan rasa kepemilikan masyarakat terhadap pembangunan Aceh dan Nias, ujar Kuntoro.
Kesepakatan kerja sama itu akan memberikan dan menjamin akses langsung bagi Transparency International (TI) Indonesia terhadap seluruh informasi yang berkaitan dengan sistem integritas BRR.
Dana atau kekuasaan
Ketua Dewan Pengurus TI Indonesia Todung Mulya Lubis mengatakan, kerja sama itu diharapkan mampu mengurangi sebanyak mungkin penyalahgunaan dana atau kekuasaan dalam pembangunan kembali Aceh dan Nias.
Komitmen kami jelas, membangun satu sistem integritas untuk menerapkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi dalam pembangunan Aceh-Nias. Nantinya, perjanjian akan ditindaklanjuti secara operasional dan menyangkut soal lebih riil untuk mengatasi batu sandungan yang ada, kata Todung.
Dalam penilaian TI Indonesia, banyaknya kasus dugaan korupsi dan mencuatnya pengaduan masyarakat kian membuktikan adanya persoalan dalam penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam kerja rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh-Nias.
Kami tidak menafikan kerja pemerintah daerah setempat. Namun, Aceh dan Nias merupakan kasus khusus yang harus diperlakukan khusus, ungkap Todung.
Saat ini TI Indonesia sudah mengadakan kerja sama dengan pemerintah di enam kabupaten/ kota di Aceh, yaitu Kabupaten Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Jaya, Pidie, dan Bireuen, serta Kota Banda Aceh. (fro)
Sumber: Kompas, 8 november 2006