Transparansi dalam Perspektif Islam

Sesungguhnya orang yang paling baik untuk kita ambil sebagai pekerja adalah orang yang memiliki kemampuan dan terpercaya (Alquran 28: 26).

Janganlah kamu memperhatikan banyaknya salat dan puasanya. Jangan pula kamu perhatikan banyaknya haji dan kesalehannya. Tetapi perhatikanlah kejujurannya dalam menyampaikan informasi dan menjalankan amanat (Nabi Muhammad saw, Bihar al-Anwar 75: 114).

Kejujuran akan menyelamatkan kamu walaupun kamu takut padanya; dan kebohongan mencelakakan kamu walaupun kamu tenteram karenanya (Ali bin Abi Thalib, Ghurar al-Hikam).

PADA tahun 38 H, khalifah Islam yang keempat Ali bin Abi Thalib mengangkat Malik al-Asytar sebagai Gubernur Mesir. Semula Malik menduduki jabatan gubernur di Nashibin, sebuah daerah kecil yang tidak sekaya Mesir. Imam Ali sangat mencintainya karena keluhuran akhlaknya. Ia sangat taat beribadat, sangat tekun berjihad, dan sangat bersabar menghadapi rakyat. Kedudukan dia bagiku sama seperti kedudukan aku bagi Nabi Allah saw, kata Ali memujinya.

Seperti Ali, ia piawai dalam memainkan pedang. Di medan pertempuran, ia bukan saja tidak pernah mundur, tetapi juga tidak pernah kalah. Namanya saja sudah cukup menggentarkan nyali musuh-musuhnya. Dalam kehidupan sehari-hari, seperti Ali, ia bukan saja sabar menghadapi kenakalan rakyatnya, tetapi juga sangat cepat memberikan maafnya.

Ketika ia menjabat Panglima Angkatan Bersenjata dari Khalifah Ali bin Abi Thalib, ia berjalan melewati pasar. Pakaiannya sangat sederhana, terbuat dari katun yang kasar. Melihat pakaiannya yang kumuh, seorang penjaga toko melemparinya dengan dedaunan kotor, sekadar mencemoohkannya. Ia mengacuhkan penghinaan itu. Menoleh pun tidak. Ia melanjutkan perjalanannya dengan tenang. Orang yang mengenal Malik menegur penjaga toko itu? Tahukah kamu, siapa yang telah kamu perlakukan dengan tidak senonoh itu?

Ketika disebut nama Malik bin Asytar berguncanglah seluruh sendi tubuhnya. Dengan ketakutan yang amat sangat, ia mengejar Malik. Ia mendapatkannya sedang berdoa di masjid. Setelah Malik selesai berdoa, ia menjatuhkan dirinya, berlutut memohon ampun atas kelakuannya yang buruk. Ia menangis terisak-isak. Malik mengangkat dagunya dan berkata, Demi Allah, aku datang ke masjid untuk berdoa semoga Allah mengampuni kamu!

Dengan akhlak yang begitu mulia, Malik segera mendapat kepercayaan Imam Ali. Ia mendapat SK sebagai gubernur dan sekaligus petunjuk administratif menjalankan pemerintahan yang baik, good governance. Inilah, saya kira dokumen peraturan pemerintah daerah yang pertama dalam Islam. Dokumen ini ditulis oleh orang yang mendapat julukan --dari penulis Kristiani George Jordac-- the voice of human justice, shawth al-'adalah al-insaniyyah.

Di seberang sana, di pihak lawan, ada Muawiyyah, yang menegakkan pemerintahannya di atas kezaliman dan perampasan hak rakyat. Ketika mendengar pengangkatan Malik, Muawiyyah menyuap seorang kepala daerah untuk menyambut Malik dalam perjalanannya ke Mesir. Dan ia menyambutnya dengan memasukkan racun (mungkin arsenikum?) ke dalam minuman bercampur madu. Malik tidak sempat menjalankan perintah kepala negaranya, karena maut keburu menjemputnya.

Muawiyah gembira mendengar berita itu. Ia menyampaikan pidato sukacitanya: Duhai, madu pun telah menjadi tentara Tuhan. Ali bin Abi Thalib punya dua tangan kanan. Yang satu, Ammar bin Yassir telah diputuskan di Shiffin. Yang kedua, Malik al-Asytar telah kita patahkan sekarang.

Ali tentu saja berdukacita. Ia berkata, Malik! Siapakah Malik? Sekiranya Malik sebongkah batu, dialah batu yang keras dan padat. Sekiranya ia batu karang, ia karang perkasa yang tiada taranya. Seakan-akan kematiannya telah merenggut nyawaku. Aku bersumpah demi Allah, kematiannya membuat orang Syria bersuka ria dan orang Irak berdukacita.

Ali berdukacita, karena bersama kematiannya hilanglah pelaksana dari eksperimen pertama tentang pelaksanaan good governance pada pemerintahan daerah. Tapi kita patut bergembira karena gagasan Suara Keadilan itu dapat kita bicarakan lagi sekarang dalam konteks yang masih sangat relevan. Saya akan mencantumkan sebagian dari dokumen bersejarah ini.

Dokumen Pemda Islam yang pertama:

Dengan nama Allah yang Mahakasih Mahasayang.

Inilah yang telah diperintahkan oleh hamba Allah Ali Amirul Mukminin kepada Malik bin Al-Harith Al-Asytar dalam perjanjian atasnya ketika ia mengangkatnya sebagai Gubernur Mesir untuk mengumpulkan pajak, memerangi musuh negara, menyejahterakan penduduk, dan memakmurkan negeri.

Angkatlah para pejabat Anda setelah melalui proses pengujian, janganlah sekali-kali memilih orang karena ikatan kasih sayang atau hubungan pribadi, karena keduanya merupakan sumber kezaliman dan pengkhianatan. Pilihlah di antara mereka orang-orang yang berpengalaman dan memiliki harga diri dari keluarga yang terkenal kesalehannya dan keutamaannya di dalam Islam. Mereka adalah orang yang paling mulia akhlaknya, paling bersih reputasinya, paling sedikit kerakusannya, dan paling konsekuen dalam menjalankan urusannya.

Kemudian berilah mereka gaji yang banyak karena gaji itu akan memperkuat mereka dalam memperbaiki diri mereka dan mencukupi keperluan mereka sehingga tidak memanfaatkan apa yang berada dalam tanggung jawab mereka. Selain itu, gaji itu akan menjadi argumentasi yang kuat untuk mendakwa mereka jika mereka menentang perintahmu atau menyelewengkan amanatmu.

Kemudian awasi pekerjaan mereka. Bentuklah tim pengawas dari orang-orang yang jujur dan setia karena pengawasan Anda akan mendorong mereka untuk menjalankan amanat secara setia dan menyayangi rakyat. Berhati-hatilah dengan para pejabatmu. Jika salah seorang di antara mereka menjulurkan tangannya untuk berkhianat dan para pengawasmu sudah mengukuhkan penyelewenangannya, cukuplah itu sebagai bukti.

Anda harus memberikan hukuman badan kepadanya dan mengembalikan dana yang sudah diselewengkannya. Kemudian Anda harus menempatkannya pada keadaan yang memalukan, memasukkannya dalam daftar hitam pengkhianatan, dan melingkarkan di lehernya kalung kejahatan.

Pendekatan individual

dan sosial

Di antara petunjuk Imam Ali dalam dokumen di atas kita menemukan pentingnya memilih pejabat yang memiliki akhlak yang mulia dan reputasi yang terhormat. Mereka juga harus terkenal tidak serakah atau tamak dalam mengejar kekayaan. Semua itu dilakukan agar mereka tidak mengambil hak rakyat untuk kepentingannya sendiri. Dengan kata-kata Imam Ali, supaya mereka dapat memelihara diri agar tidak mengambil dana yang mereka kelola untuk kepentingan pribadi.

Tetapi karakter yang baik saja tidak menjamin kejujuran. Imam Ali juga menegaskan pentingnya sistem kontrol atau pengawasan yang tidak memberikan peluang kepada para pejabat untuk melakukan penyalahgunaan. Sistem kontrol atau pengawasan ini harus dilakukan dengan sangat tegas. Ia harus didukung oleh law enforcement yang tidak pandang bulu. Kata Imam Ali, Anda harus memberikan hukuman badan kepadanya dan mengembalikan dana yang sudah diselewengkannya. Kemudian Anda harus menempatkannya pada keadaan yang memalukan, memasukkannya dalam daftar hitam pengkhianatan, dan melingkarkan di lehernya kalung kejahatan.

Walhasil, dalam perspektif Islam, pemecahan untuk penyalahgunaan dana rakyat harus dilakukan dengan pendekatan individual dan sosial sekaligus. Pendekatan indvidual dilakukan dengan mensyaratkan dua nilai dasar yang harus dimiliki oleh para pejabat: kemampuan (competency, proficiency, expertise) dan kejujuran (integrity, trustworthiness, truthfulness). Dalam Islam, kejujuran itu diungkapkan dalam dua nilai utama, yang menjadi sifat wajib bagi para Nabi. Dua nilai utama itu disebut sebagai nilai profetis, bahkan ilahi. Pemeliharaan kedua nilai itu dipandang sebagai lebih utama dari melakukan ibadat-ibadat ritual seperti salat, saum, dan haji. Kedua nilai itu adalah shidq dan amanat.

Pendekatan sosial dilakukan dengan mengikutsertakan sebanyak-banyaknya pengawas dari masyarakat. Kontrol sosial ini harus ditanggapi oleh pihak pemerintah dengan segera. Apabila ada pejabat yang menggerakkan tangannya untuk melakukan penyelewengan, dan laporan banyak pelapor sudah mengukuhkannya, itu harus dianggap sebagai bukti yang cukup, kata Imam Ali.

Marilah kita mulai dengan pendekatan indvidual: shidq dan amanat.

Pertama, dalam Alquran, kata shiddiq artinya yang sangat shidq, sering dikaitkan dengan kata Nabi. Dan ingatlah Ibrahim dalam Alkitab. Ia seorang shiddiq dan Nabi (Maryam: 41); dan ingatlah Idris dalam Alkitab, ia seorang shiddiq dan Nabi (Maryam: 56). Para ulama menetapkan sifat shidq sebagai sifat yang wajib bagi para nabi.

Kedua, umat beragama harus bergabung dengan orang jujur. Setelah takwa, Tuhan memerintahkan agar kita bergabung dengan orang-orang yang jujur, al-shadiqin: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bergabunglah dengan orang-orang yang jujur (Al-Tawbah: 119).

Ketiga, shidq adalah induk segala nilai. Rasulullah saw bersabda, Kejujuran membawa kepada segala kebajikan dan kebajikan membawa kepada surga. Jika seseorang selalu berlaku jujur dan berusaha keras untuk jujur, di sisi Allah sudah dipastikan posisinya sebagai shiddiq (Kanz al-'Ummal, hadis 6861).

Keempat, shidq dan amanat adalah ukuran sejati kesalehan: Janganlah kamu tertipu dengan salat dan puasa mereka, karena orang bisa saja sangat tekun menjalankan salat dan puasanya sehingga ia merasa tidak enak dalam meninggalkannya. Ujilah mereka dalam kejujuran menyampaikan informasi dan memenuhi amanat (Bihar al-Anwar 71: 2).

Kelima, tidak ada iman orang yang tidak dapat memenuhi amanat. Tidak ada iman pada orang yang tidak ada amanatnya (Bihar al-Anwar 72:198); Barangsiapa yang mengkhianati amanat di dunia ini, dan tidak menyampaikannya kepada yang berhak, lalu maut menjemputnya, ia mati keluar dari agamaku. Ia akan menemui Allah dengan kemurkaan Allah atasnya (Bihar al-Anwar 75: 151).

Keenam, amanat harus ditunaikan walaupun pemberi amanat itu pendosa. Cucu Ali, Imam Ja'far-Shadiq berkata, Sekiranya yang menebas leher Ali dengan pedang dan membunuhnya mengamanatkan sesuatu kepadaku, meminta nasihatku, atau berkonsultasi denganku, lalu aku bersedia melakukannya, aku akan tunaikan amanat itu sebaik-baiknya (Mizan al-Hikmah 1: 345).

Mengapa perlu transparansi anggaran?

Apa hakikat shidq atau kejujuran? Al-Raghib al-Isfahani dalam Mufradat al-Alfazh Alquran menjelaskan makna shidq. Shidq dan kazib terutama dikaitkan dengan apa yang dikatakan, baik berhubungan dengan masa lalu atau masa yang akan datang, baik berkaitan dengan janji, atau bukan janji; dan hanya dalam apa yang dikatakan ketika menyampaikan informasi: kadang-kadang terjadi dalam bentuk pembicaraan lainnya, seperti bertanya, memerintah, dan memohon; ketika seseorang berkata apakah Zaid di rumah, ia menunjukkan bahwa ia tidak tahu keberadaan Zaid; atau ketika orang berkata berikan bagianku atau samakan bagianku dengan bagianmu, di dalamnya terkandung permohonan untuk mendapatkan bagian; dan ketika orang berkata, jangan sakiti aku, ia menyiratkan bahwa orang lain sedang menyakiti hatinya.

Menurut Al-Ghazali dalam Ihya 'Ulum al-Din, shidq atau kejujuran mengandung enam makna: kejujuran dalam berbicara, kejujuran dalam niat dan kemauan, kejujuran dalam perencanaan, kejujuran dalam melaksanakan rencana, kejujuran dalam tindakan, kejujuran dalam merealisasikan semua ketentuan agama. Bila orang telah memiliki semua sifat tersebut, ia disebut sebagai shiddiq, kata sifat yang intensif (mubalaghah) untuk shidq.

Secara singkat, dalam bahasa mutakhir, shidq adalah kejujuran dalam menerima, mengolah, dan menyampaikan informasi. Lawan dari shidq ialah kidzb, dusta. Nabi Muhammad bersabda, Jauhilah oleh kamu dusta, karena dusta membawa kamu kepada kedurhakaan dan kedurhakaan membawa kamu kepada neraka. Termasuk dusta adalah upaya untuk melakukan manipulasi dalam penerimaan, pengolahan, dan penyampaian informasi.

Transparansi anggaran adalah salah satu bentuk shidq. Menyembunyikan anggaran sebaliknya adalah bentuk kebohongan yang paling jelas. Dalam kaidah ushul fiqh ditegaskan bahwa ma la yatimmul wajib illa bih fahuwa wajib, kalau kewajiban tidak bisa dijalankan kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu menjadi wajib.

Shidq adalah kewajiban. Dalam pengelolaan anggaran kejujuran ini tidak bisa dijalankan kecuali dengan transparansi anggaran. Berdasarkan kaidah itu, maka menjalankan transparansi anggaran adalah wajib. Ini berarti, dalam pandangan Islam, menghindari transparansi anggaran adalah kemaksiatan yang dapat menghapuskan semua pahala ibadat kepada Tuhan.

Shidq berkaitan dengan amanat. Ali bin Abi Thalib berkata, Bila amanat kuat, maka berkembanglah shidq. Bila shidq berkaitan dengan proses informasi anggaran, amanat berkaitan dengan kesetiaan untuk mengalokasikan dan mendistribusikan anggaran kepada yang berhak --dalam istilah Islam, menyampaikan amanat kepada ahlinya. Untuk mengontrol shidq dan amanat, diperlukan sistem pengawasan. Dengan menggunakan istilah para ahli ushul fiqh lagi, kita dapat menyimpulkan bahwa pengawasan wajib karena shidq dan amanat tidak akan berjalan tanpanya. Pengawasan tidak dapat dilakukan dengan baik tanpa transparansi anggaran.

Walhasil, dalam perspektif Islam, menegakkan transparansi anggaran adalah kewajiban agama yang mulia. Ia bukan saja mengantarkan manusia pada berbagai kebajikan, tetapi juga mengantarkan mereka kepada surga yang dijanjikan. Secara duniawi, transparansi anggaran, dalam kata-kata imam Ali adalah upaya memerangi musuh negara, menyejahterakan penduduk, dan memakmurkan negeri.(Jalaluddin Rkhmat, kiai dan pakar komunikasi)

Tulisan ini diambil dari Pikiran Rakyat, 27 Desember 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan