Transformasi Money Politics dalam Pilkada
Salah satu yang dianggap sebagai kelebihan dari pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung (dibandingkan pilkada melalui perwakilan) adalah berkurangnya kemungkinan money politics, sebab logikanya menyuap jutaan rakyat lebih sulit dibanding beberapa puluh orang. Benarkah demikian? Menurut hemat penulis hal tersebut benar adanya, akan tetapi bukan berarti penyimpangan demokrasi yang bernama money politics ini akan berkurang secara signifikan. Bisa saja terjadi transformasi money politics jika semula kepada puluhan orang menjadi masyarakat luas (sekaligus terhadap beberapa orang yang ditokohkan dan ditaati).
Logikanya jika semula miliaran rupiah disebar kepada beberapa puluh orang maka modus yang baru dari money politics mungkin dengan jumlah yang juga miliaran rupiah, tapi penyebarannya lebih luas. Tentu saja penyimpangan berupa penyuapan tersebut tidak lepas dari penyimpangan lain yaitu menyangkut dana kampanye terlarang.Masalah politik uang tampaknya kembali akan terus mewarnai kancah perpolitikan kita, khususnya pada pelaksanaan pilkada secara langsung. Jika pada Pemilu 2004 yang lalu ada banyak isu permainan uang, maka pada pilkada yang akan bergulir Juni 2005 nanti pun problem klasik ini juga diduga akan banyak terjadi. Repotnya lagi, kerangka hukum yang ada belum benar-benar andal guna menanggulangi hal ini. Pengalaman penanggulangan politik uang pada Pemilu 2004 yang lalu telah membuktikan sulitnya menangani problem satu ini.
Bentuk politik uang
Biasanya money politics dikaitkan dengan masalah suap-menyuap dengan sasaran memenangkan salah satu kandidat dalam suatu pemilihan. Padahal sebenarnya jika dilihat secara lebih luas, money politics dapat juga dihubungkan dengan segala macam pelanggaran menyangkut dana di dalam konteks politik (termasuk masalah kepartaian dan pemilihan umum). Memang yang paling menonjol adalah kecurangan dengan penyuapan. Tapi, ada pula bentuk-bentuk lainnya yang juga melanggar norma hukum yang perlu diwasapadai, khususnya mendapatkan dana dari sumber terlarang serta tidak melaporkan keberadaan dana ilegal itu.
Mengingat banyak ketentuan UU No 32 tahun 2004 mencontoh dari UU No 12 Tahun 2003 (dan juga UU No 23 tahun 2003) maka banyak problem yang mirip antara pilkada dan pemilu. Khusus di dalam pelaksanaan pilkada langsung ada sejumlah ketentuan mengenai dana yang diatur baik dalam undang-undang partai politik maupun dalam undang-undang pemilu. Di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, khususnya pada Bagian VIII mengenai Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terdapat ketentuan mengenai politik uang ini, khususnya pada Pasal 116. Di dalam pasal ini terdapat 8 (delapan) tindak pidana pemilu yang berkaitan dengan kampanye. Tiga dari delapan tindak pidana mengenai kampanye ini secara khusus mengancam perbuatan yang berkaitan dengan dana kampanye, yaitu memberi atau menerima dana kampanye melebihi batas, menerima atau memberi dana kampanye dari atau kepada pihak-pihak yang dilarang, dan sengaja memberi keterangan yang tidak benar daam laporan dana kampanye pemilu.
Seperti diatur pada Pasal 83 ayat (3) UU No 32 Tahun 2004 ini sumbangan dana kampanye dari perseorangan maksimal Rp 50 juta rupiah sedangkan dari badan hukum swasta maksimal Rp 350 juta rupiah. Sementara menurut Pasal 85 ayat (1) diatur peserta pemilu dilarang menerima sumbangan atau bantuan lain untuk kampanye dari pihak asing, penyumbang yang tidak jelas identitasnya, dan dari pemerintah, BUMN, dan BUMD. Pelaku dari kedua tindak pidana ini dapat dijatuhi sanksi pidana 4 hingga 24 bulan dan/ atau denda Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar.
Di luar pasal 116 tersebut, pada Pasal 117 ayat (2) terdapat larangan dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilih atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilih dengan cara tertentu (substansi pasal ini sama persis dengan substansi Pasal 139 ayat 2 UU No 12 Tahun 2003). Pelaku dari perbuatan terakhir ini dapat dijatuhi hukuman 2 hingga 12 bulan dan/atau denda Rp 1 juta hingga Rp 10 juta. Dari sudut sanksinya tindak pidana-tindak pidana politik uang di atas relatif lebih berat dibanding tindak pidana lainnya dalam UU Nomor 32 Tahun 2004.
Pelanggaran atas beberapa money politics di atas selain diancam sanksi pidana juga dikenakan pembatalan sebagai calon sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (2) yang menyatakan bahwa pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran ini berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD. Sementara Pasal 85 ayat (2) mengancam pasangan calon yang menerima sumbangan yang dilarang seperti diatur pada Pasal 85 ayat (1) akan dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPUD.
Penyelesaian hukum
Yang jadi persoalan serius adalah bagaimana melakukan pengawasan dan penegakan hukum atas politik uang pada pilkada langsung, khususnya menyangkut penerimaan sumbangan kampanye yang dilarang tersebut di atas? Dari hasil kajian penulis, para penyidik dan penuntut umum pun untuk kasus-kasus politik uang pada pemilu juga mengakui bahwa secara teknis memiliki kemampuan untuk menyidik dan menuntut tindak pidana semacam ini. Tetapi, perlu dicatat bahwa tiga kasus politik uang yang berhasil disidang dan diputuskan di atas secara modus operandi tidak terlampau sulit serta melibatkan jumlah materi yang relatif kecil serta dilakukan bukan oleh tokoh-tokoh penting partai.
Bagaimana jika dilakukan secara lebih sistematis, tersamar, melibatkan jumlah materi yang besar, atau melibatkan tokoh-tokoh penting partai yang menduduki jabatan politis tinggi? Inilah yang pada Pemilu 2004 dilaporkan banyak terjadi tetapi sangat sulit membawa ke pengadilan. Banyaknya dana kampanye fiktif dari penyumbang tak jelas juga dilaporkan oleh beberapa LSM kepada Panwaslu. Penelusuran lebih lanjut juga memperkuat laporan tersebut. Namun, nyatanya sulit membawa penyimpangan dana kampanye ke pengadilan.
Dalam konteks inilah pengawasan dan penegakan hukum untuk menangani politik uang terkait faktor hukum atau peraturan perundang-undangan. Problem utamanya adalah apakah ketentuan yang ada sudah memadai untuk mengawasi dan menangani politik uang. Di dalam UU Partai Politik kewenangan untuk mengawasi terletak pada pundak Komisi Pemilihan Umum yaitu dengan meminta hasil audit laporan keuangan tahunan partai politik dan hasil audit laporan keuangan dana kampanye pemilihan umum (Pasal 23 huruf e UU No 31 Tahun 2002). Hal yang sama juga terdapat pada Pasal 79 ayat (3) UU No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu yang menyatakan bahwa hasil audit mengenai dana kampanye wajib dilaporkan kepada KPU.
Sementara pada UU No 32 tahun 2004 kewenangan ini dimiliki oleh KPUD. Bagaimana peran pengawas pilkada terhadap politik uang terkait dana kampanye? Undang-undang memang tidak menjelaskan secara langsung peran pengawas pemilu dalam mengawasi dana kampanye, tetapi tugas dan kewenangan Pengawas Pilkada hampir sama dengan Panwaslu yaitu mengawasi semua tahapan, menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan yang terakit pilkada, menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pilkada, dan meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang. Dengan demikian apabila pengawas pilkada dalam tugas proaktifnya menemukan pelanggaran dana kampanye atau menerima laporan pelanggaran dana kampanye maka ia dapat melakukan tindakan berupa meneruskan kepada instansi yang berwenang. Jika hal itu mengandung unsur pidana berarti kepada penyidik.
Dengan demikian Pengawas Pilkada tidak perlu menunggu adanya hasil audit dana kampanye, pertama karena menurut undang-undang audit dana kampanye itu diserahkan kepada KPUD (bukan kepada Pengawas Pilkada); dan kedua, karena hasil audit itupun baru diserahkan dalam waktu cukup lama. Yang harus diantisipasi adalah bahwa pelanggaran-pelanggaran yang ada, sesuai PP No 6 Tahun 2005 harus dilaporkan paling lama 7 hari sesudah pelanggaran terjadi. Dengan demikian masalah pelanggaran mengenai dana kampanye inipun jika diketahui harus cepat dilaporkan sehingga dapat ditangani. Artinya, kepada warga masyarakat yang berhak memilih, pemantau, serta peserta pemilu yang mengetahui adanya politik uang ini diharap segera melaporkan kepada pengawas pemilu, sesuai ketentuan dan waktu yang diatur dalam undang-undang, tanpa menunggu audit yang baru bisa diketahui lama sesudah pilkada berakhir.(Topo Santoso, dosen FHUI dan Wakil Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem))
Tulisan ini diambil dari 19 Maret 2005