Transaksi Politik dan Korupsi Daerah

Perubahan mendasar sistem pemilihan dari sistem proporsional tertutup ke sistem proporsional terbuka, di mana presiden, kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) dan anggota DPR/DPRD dipilih langsung rakyat memicu semakin tingginya biaya transaksi politik uang yang terjadi di negeri ini. Adanya kecurangan dalam melakukan transaksi politik timbul karena adanya informasi asimetris (asymmetric information) sehingga menyebabkan ketidaksetaraan informasi atau pengetahuan (unequal knowledge) antarpelaku-pelaku (parties) dalam suatu transaksi.

    Tepat pada titik aras inilah, pertarungan antara aturan main (rules of game) dan kecenderungan penyimpangan pelaku transaksi akan bertemu. Apalagi dalam dunia nyata, kontrak tidak pernah dalam kondisi sempurna.

    Pertama, adanya ketidakpastian (uncertainty) menyebabkan terbukanya peluang yang cukup besar bagi munculnya contingencies, sehingga hal itu berimplikasi kepada munculnya biaya untuk mengetahui dan mengidentifikasi dalam rangka merespons seluruh kemungkinan ketidakpastian tersebut.

    Kedua, kinerja kontrak khusus (particular contractual performance), misalnya, menentukan jumlah energi yang dibutuhkan pekerjaan untuk melakukan pekerjaan yang rumit (complex task), mungkin membutuhkan biaya yang banyak untuk melakukan pengukuran. (Klein, 1980)

    Sebenarnya model skenario transaksi politik sangat sederhana, alur logikanya para capres/cawapres dan calon kepala daerah butuh dana dalam jumlah besar untuk melakukan kegiatan kampanye dan pembagian uang kepada pendukungnya agar bisa memenangkan pemilihan. Seluruh dana tersebut tidak mungkin dari sakunya sendiri karena jelas tidak cukup.

    Selanjutnya, KPU sebagai 'wasit pemilu' membuat kontrak berisi sumbangan dari individu atau perusahaan untuk para kandidat yang diperbolehkan, syaratnya tidak melampaui jumlah dana yang telah ditetapkan. Sebagaimana kontrak dalam kegiatan ekonomi, kontrak ini jelas tidak lengkap dalam tiga hal: (i) Tidak adanya penelusuran sumbangan-sumbangan dana yang tidak dilaporkan yang telah diberikan para donatur kepada kandidat; (ii) Tidak adanya pencarian lebih lanjut untuk mengetahui kompensasi apa yang diberikan kandidat kepada para donaturnya sebagai balas jasa; dan (iii) Belum adanya suatu metode/cara untuk menghindari terjadinya permainan politik uang (bounded rationality) dalam proses koalisi antar kandidat dalam pemilihan.

    Bila alur logika tersebut terjadi, maka akan ada beberapa kemungkinan.

    Pertama, persekongkolan antara kandidat dengan para penyandang dana (pemilik modal) mustahil tidak bisa dihindari. Kandidat butuh penyandang dana sebagai 'juru bayar' kegiatan kampanye. Sebaliknya, penyandang dana menjadikan kandidat 'investasi politik' menggaransi bisnisnya apabila terpilih kelak. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya politik balas budi dengan pemberian proyek tender, memberikan kemudahan dalam akses usaha, dan pemberian perlindungan ketika penyandang dana bermasalah dengan hukum.

    Kedua, pemerintahan akan disetir invisible hand (tangan tidak terlihat). Memang secara nyata se buah pemerintahan dipimpin oleh seorang pemimpin (sebut kepala daerah), namun dalam pengambilan keputusan dan kebijakannya akan banyak disetir penyandang dana yang telah mem-backing habis-habisan kepala daerah dalam pemilihan. Ini sebagai konsekuensi dari kesepakatan bersama yang tertuang dalam kontrak politik.

    Ketiga, kandidat terpilih akan berupaya melalukan segala cara untuk mengembalikan dana yang telah dikeluarkan dan pendanaan dalam pemilu berikutnya. Hal ini disinyalir menjadi pemicu maraknya korupsi kepala daerah dan mafia anggaran DPR. Fakta miris menunjukkan berdasarkan catatan Kemendagri, dalam delapan tahun terakhir sudah 173 kepala daerah terjerat kasus korupsi dan 70 persen di antaranya berstatus terpidana.

    Realita yang ada selama 2011 juga menggambarkan betapa ganasnya mafia anggaran mengisap uang negara. Terbongkarnya mafia anggaran dalam kasus suap Kemenpora dan Kemenakertrans. Selain itu adanya penetapan anggota Bangar DPR sebagai tersangka kasus suap dana percepatan pembangunan infrastruktur daerah (DPPID) tahun anggaran 2011 menjadi buktinya.

    Perubahan mendasar sistem pemilu nasional yang tidak dibarengi peningkatan kualitas infrastruktur kelembagaan politik (sistem kaderisasi partai, peraturan dan UU, penegakan hukum, kualitas SDM dan lain-lain) telah menciptakan ketimpangan dalam demokrasi Indonesia. Akibatnya, transaksi politik marak terjadi di daerah maupun pusat.

    Tak salah, menurut laporan ICW, politik uang pada Pemilu 2009 lebih semarak dibanding pemilu-pemilu sebelumnya. Biasanya politik uang dalam pemilu dilakukan dengan cara korupsi, melalui: (i) pembelian suara (vote buying), dimana partai politik atau kandidat membeli suara pemilih dengan menggunakan uang, barang, jasa, jabatan ataupun keuntungan finansial lainnya; (ii) pembelian kursi (candidacy buying), dimana orang ataupun kelompok kepentingan mencoba untuk membeli nominasi agar dicalonkan dalam pemilu; (iii) manipulasi dalam tahapan dan proses pemilu (electoral administrative coruption); dan (iv) dana kampanye yang 'mengikat' (abusive donation) menjadikan sumbangan kepada partai ataupun kandidat sebagai investasi politik.

    Khusus masalah dana kampanye parpol yang selama ini diaudit Kantor Akuntan Publik (KAP), ada baiknya diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menghasilkan hasil laporan auditan yang benar-benar 'wajar tanpa pengecualian' bukan sekadar 'wajar pengecualian' tapi hasil rekayasa dan kongkalikong antara pihak parpol sendiri dengan KAP bersangkutan. Maka, tugas besar kita bersama sekarang adalah menjauhkan rakyat sebagai 'korban' dari ancaman transaksi politik antara kekuasaan dan pemilik modal yang sering kali tidak mengenal kata ampun. ***

    Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana Akuntansi
    Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang.

Oleh Isnan Murdiansyah
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=340903

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan