Tong Kosong Kesehatan Gratis
Fenomena dukun cilik Ponari di Jombang, Jawa Timur, seakan memberikan ''tamparan'' kepada institusi kesehatan pemerintah maupun swasta. Kesulitan akses dan tarif berobat yang semakin melangit memicu kejadian itu.
Bagaimana mungkin masyarakat berbondong-bondong berobat kepada Ponari, sementara pemerintah menyatakan menjamin berobat gratis bagi masyarakat tidak mampu? Realitas Ponari berkorelasi signifkan dengan kegagalan negara memenuhi hak konstitusional untuk jaminan kesehatan.
Hak dasar warga negara seakan terombang-ambing. Padahal, program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang digulirkan Departemen Kesehatan sudah setahun berjalan. Amanat konstitusi yang diberikan kepada pemerintah dipertanyakan. Komitmen memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin hampir menjadi sekadar tong kosong.
Hasil penelitian ICW mengenai Jamkesmas 2008 di empat kota -Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi- sangat menguatkan paparan di atas. Sejumlah temuan menegaskan disorientasi kebijakan di sektor kesehatan tersebut.
Pertama, pendataan yang tidak akurat. Temuan lapangan menunjukkan masih banyak keluarga miskin yang tidak tercatat. Di antara 868 daftar pemegang kartu yang dipilih secara acak, ternyata tidak sampai setengah responden yang secara nyata memiliki kartu Jamkermas.
Bahkan, sekitar 12,4 persen tidak memiliki kartu kendati sudah tercatat sebagai peserta. Selain itu, hampir 10 persen tidak dikenal pada alamat yang tertera di catatan PT Askes, 3 persen sudah meninggal, dan 3,1 persen pindah rumah. Ketidakakuratan data penerima Jamkesmas tersebut diperburuk dengan adanya 22,1 persen data dari responden yang tidak dapat diverifikasi.
Berangkat dari riset di atas, jika sampel ditarik pada populasi peserta Jamkesmas yang berjumlah sekitar 579.192 jiwa, diperkirakan, hanya 290 ribu masyarakat miskin yang terdaftar yang benar-benar bisa menggunakan hak pengobatan gratis. Sedangkan setengah lainnya dikhawatirkan tidak mendapatkan fasilitas pengobatan tersebut.
Pendataan yang tidak akurat itu dinilai merupakan masalah mendasar yang berimplikasi pada terabaikannya hak masyarakat miskin. Dengan kata lain, patut dipertanyakan jika Departemen Kesehatan mengklaim sudah memberikan jaminan kesehatan untuk warga negara tak berpunya.
Kedua, sosialisasi yang belum optimal. Hasil survei menunjukkan bahwa sebanyak 42,6 persen responden mendapatkan informasi dari ketua RT/RW. Informasi yang didapat pun tidak bisa dikatakan menyeluruh tentang Jamkesmas. Hal tersebut ditunjukkan dengan sebagian besar (80 persen) dari responden tidak mengetahui manfaat Jamkesmas.
Pelayanan kesehatan yang seharusnya dapat dinikmati dengan gratis menjadi hal asing bagi pasien Jamkesmas. Dapat dilihat pula bahwa iklan di media cetak dan elektronik belum optimal. Hanya 2,3 persen responden yang mengetahui apa itu Jamkesmas dari media elektronik. Dan, hanya 0,7 persen iklan di media masa yang digunakan responden sebagai sumber informasi tentang Jamkesmas.
Bagaimana bisa seorang miskin menonton televisi atau membaca koran setiap hari, untuk keperluan hidup sehari-hari saja masih mengais.
Ketiga, adanya pungutan untuk mendapatkan kartu. Sebanyak 7,5 persen responden mengatakan bahwa mereka harus membayar kepada petugas kelurahan, puskesmas, ataupun RT/RW untuk mendapatkan kartu Jamkesmas. Alasan yang digunakan adalah itu menjadi pengganti biaya transportasi atau sekadar imbalan. Rata-rata pungutan itu sebesar Rp 10.000.
Bisa dibayangkan ketika di kota-kota seluruh Indonesia ada pungutan seperti itu. Mungkin, hal tersebut tidak menjadi masalah bagi warga. Sebab, mereka memperoleh konsekuensi yang lebih besar, yaitu pengobatan yang gratis selama sakit. Namun, praktik-praktik kecurangan itu akan menjadi kedok para aparat tidak bertanggung jawab untuk melegalkannya.
Keempat, masih ada pasien Jamkesmas yang tidak mengunakan kartu ketika berobat. Sebanyak 23 persen responden ketika berobat tidak menggunakan kartu. Alasan yang muncul, antara lain, adalah takut ditolak RS, takut di pingpong, malas membawa kartu, masih bisa menanggung biaya sendiri, dan 25,7 persen tidak tahu bila kartu Jamkesmas bisa digunakan berobat gratis ke RS dan puskesmas.
Hal tersebut merupakan imbas dari sosialisasi yang belum optimal. Peserta Jamkesmas yang menjadi pasien di RS atau puskesmas merasa takut. Menarik sekali. Seseorang memiliki hak, namun tidak berani memintanya.
Kelima, berobat yang belum gratis. Departemen Kesehatan mendengung-dengungkan Jamkesmas itu gratis. Bisa digunakan selama sakit, seseorang tidak mengeluarkan sepeser pun uang. Realisasinya, dari responden didapat bahwa biaya periksa paling tinggi adalah mencapai RP 600.000. Masih ada pula biaya berobat, pendaftaran, dan lainnya yang menambah daftar rupiah yang tertera dalam slip pembayaran. Sesuatu yang bertolak belakang.
Keenam, pelayanan kesehatan bagi pasien Jamkesmas yang masih buruk. Hal itu terlihat dari lamanya menunggu antrean, sempitnya ruang tunggu, berdesak-desakan, lamanya menunggu waktu operasi, terlambatnya dokter, dan masih adanya penolakan dari RS.
Hal yang menonjol adalah penolakan pasien Jamkesmas. Seakan RS tidak lagi berfungsi melayani (sosial). Alasan mengapa RS menolak adalah tidak adanya tempat tidur, fasilitas RS yang minim, dan tidak lengkapnya syarat-syarat yang harus dibawa.
Enam temuan di atas cukup menjadi dasar argumentasi bahwa Jamkesmas gagal. Kesimpangsiuran dan tidak akuratnya pendataan selayaknya dikoreksi secepatnya oleh Departemen Kesehatan selaku penanggung jawab utama. Perintah UU yang tertuang pada pasal 9 UU 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan jelas memberikan kewajiban kepada pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Dalam banyak hal, pemerintah sebenarnya relatif tidak berhasil mengafirmasi berbagai hak asasi masyarakat di sektor pelayanan publik. Termasuk di sektor kesehatan. Tidak begitu intensnya perhatian di wilayah itu menjadikan hak-hak kesehatan terancam. Dan, tentu saja hal ini akan diperparah jika di sisi lain, Departemen Kesehatan justru selalu menyatakan sudah berhasil menjalankan Jamkesmas.
Siapa pun tentu tidak menghendaki program jaminan kesehatan yang punya cita-cita mulia tersebut hadir hanya seperti tong kosong yang berbunyi nyaring.
Ratna Kusumaningsih, peneliti Korupsi Kesehatan ICW di Jakarta
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 22 Februari 2009