Tolak Pembusukan Pengadilan Tipikor dan KPK

binatangHari Minggu (13/9), Pukul 13.30 - 14.00 WIB ICW dan ILRC didatangi Delegasi Dewan Perwakilan Binatang (DPB) yang menyampaikan keluh kesah, dukungan dan PETISI untuk mendukung pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK dan Pengadilan Tipikor. DPB juga mencermati setiap bentuk serangan balik terhadap KPK, baik melalui jalur regulasi ataupun serangan langsung dengan pensiasatan proses hukum. Bagi DPB, keberadaan KPK sangat penting, karena koruptor-koruptor kakap yang membabat hutan melalui konsensi alih fungsi dan suap telah ditangkap dan dijerat oleh KPK. Kasus-kasus penting yang sudah diproses KPK tersebut adalah Kasus Saukani di Kalimantan, kasus Tanjung Api-api dan termasuk suap PT. Masaro. TIndakan-tindakan korupsi tersebut memang berakibat pada deforestasi hutan, sehingga habitat para binatang berkurang drastis.

Jika bagi DPB saja, KPK dan Pengadilan Tipikor sangat penting, tentu lebih lagi bagi manusia. Karena itu, DPB mendatangi dan menyampaikan PETISI.

Kisah ini diadopsi dari tekhnik penulisan FABEL, dan ditampilkan dalam bentuk teaterikal 5 orang yang mengenakan kostum binatang, antara lain:
Gorila, Kelinci, Harimau, Gajah dan Beruang.

RILIS dari Koalisi disampaikan oleh: 1. illian DETA Arta Sari, Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan (HMP) ICW dan 2. Uli Parulian Sihombing, Direktur Indonesia Legal Resource Center (ILRC)
---------------------------------------------------

Press Release
Tolak Pembusukan Pengadilan Tipikor dan KPK

Keberadaan KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memang seperti telur di ujung tanduk. Kekuatan politik koruptif seolah tak pernah berhenti mengganggu komisi khusus ini. Dalam pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pengadilan Tipikor yang awalnya berjalan sangat lambat, tiba-tiba dipercepat sedemikian rupa. Sangat terlihat motivasi dan semangat mengkebiri kewenangan KPK.

Sejauh ini selain tiga materi RUU Pengadilan Tipikor yang dinilai cacat secara substantif, kemudian berkembang dua ide menyesatkan untuk mencabut kuasa Penuntutan dari KPK dan bahkan restriksi kewenangan Penyadapan. Padahal, sejumlah kasus besar dapat diungkap karena kewenangan Penyadapan KPK.  Terdapat beberapa argumentasi yang terkesan dicari-cari oleh Panitia Kerja DPR untuk mendukung ide penghancuran KPK tersebut.

Pertama, Kuasa Penuntutan. Pernyataan yang berkembang di publik, idealnya hanya ada satu kausa penuntutan, yaitu dari Kejaksaan Agung. Panitia Kerja pun mengutip UU Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan yang menyatakan Jaksa adalah satu, sehingga semua kuasa penuntutan ada di bawah Jaksa Agung. Karena UU Kejaksaan dibuat tahun 2004, sementara UU KPK disahkan tahun 2002, maka seharusnya UU yang kemudianlah (tahun 2004) yang berlaku, alias UU KPK dikesampingkan. Betapa menyesatkan argumentasi hukum ini!

Yang lebih menyedihkan, Jaksa Agung pun membenarkan dan bahkan menyinggung persoalan ketimpangan gaji antara Jaksa di KPK dan di Kejaksaan Agung. Ditengah prestasi Kejaksaan yang mengecewakan dibawah kepemimpinan Jaksa Agung, Hendarman Supandji tentu saja pernyataan tersebut dapat dimaknai sebagai bentuk ego institusi, serta keinginan menguasai KPK.

Memang sangat mudah membantah logika Panja dan Jaksa Agung. Jika dicermati, UU KPK sesunguhnya dibentuk karena kegagalan Kejaksaan dan Kepolisian dalam pemberantasan korupsi. Sehingga, sejumlah kewenangan khusus diberikan pada institusi ini. Perihal kekhususan ini (Lex Specialis) ditegaskan oleh dua dasar hukum. Pertama, PENJELASAN UMUM UU KPK menyebutkan secara tegas “dalam menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam UU ini dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus”. Dan, Kedua, penegasan mahkamah agung melalui KMA/694/RHS/XII/2004 pun mengatakan, kewenangan KPK bersifat khusus. Artinya, tidak beralasan jika kewenangan PENUNTUTAN KPK dicabut dan dialihkan ke Kejaksaan Agung.

Lebih dari itu, institusi yang diberikan kewenangan oleh UU untuk melakukan koordinasi, supervisi atau bahkan pengambilalihan kasus korupsi di Kejaksaan dan Kepolisian adalah KPK. Bukan sebaliknya. Jika kuasa penuntutan diberikan pada Kejaksaan Agung, tentu saja Panja dan Jaksa Agung telah mengingkari dan melawan UU yang sudah berlaku bahkan bersifat Lex Specialis. Kami sarankan Panja dan Jaksa Agung membaca UU KPK, khususnya Pasal 6 huruf a, b; Pasal 7,8 dan 9; Pasal 21 ayat (4); Pasal 39 ayat (2), (3); dan Pasal 51 ayat (1). Sejumlah pasal itu membangun konstruksi hukum yang sangat kuat tentang kewenangan KPK, baik koordinasi, supervisi ataupun kuasa penuntutan. Jika Panja dan Jaksa Agung membaca secara cermat dan ada niat baik melakukan pemberantasan korupsi, kami yakin kewenangan KPK tidak perlu dikebiri seperti saat ini.

Kedua, pemangkasan kewenangan Penyadapan. Setelah gagal beberapa kali untuk menyerang dan melakukan pembusukan terhadap kewenangan penyadapan, kali ini Panja DPR seperti mendapat celah. Melalui RUU Pengadilan Tipikor mereka ingin mengatur, agar sebelum melakukan penyadapan KPK harus minta izin Ketua Pengadilan. Mungkin hal ini dilatarbelakangi oleh banyaknya koruptor yang berasal dari anggota DPR, mafia bisnis dan penegak hukum yang tertangkap tangan karena transaksi korup mereka terpantau oleh penyadapan KPK. Jika benar demikian, ide untuk memangkas penyadapan adalah sesuatu yang harus ditolak.

Fabel Dewan Perwakilan Binatang
Potret DPR 2004-2009 sebenarnya memang sangat meragukan. Suara-suara untuk membubarkan KPK, kocok ulang pimpinan, revisi kewenangan penyadapan dan penolakan penggeledahan oleh pihak tertentu di DPR menjadi catatan bagi masyarakat bahwa niat DPR sangat diragukan memperkuat KPK dan Pengadilan Tipikor.

Oleh karena itulah, ICW dan Koalisi menyindir pola dan tingkah anggota DPR tersebut dengan sebuah Fabel. Sebuah delegasi Dewan Perwakilan Binatang (DPB) yang telah melakukan sidang internal bahkan mengunjungi koalisi untuk menyampaikan keheranan mereka dengan suara dari DPR yang anti dengan KPK dan Pemberantasan Korupsi.

Fabel yang diambil dari Bahasa Belanda sebenarnya adalah cerita tentang hewan. Didalam cerita tersebut tersirat pesan moral yang dalam. Jika DPB saja mendukung KPK dan Pengadilan Tipikor, bagaimana mungkin sejumlah orang yang ada di DPR, Partai Politik dan Kejaksaan Agung justru sebaliknya? Sangat mengherankan!

Selain DPR, UUD 1945 sebenarnya mengatur bahwa Presiden merupakan bagian dari pembentuk UU. Pada pasal  20 ayat (2) UUD 1945 dijelaskan, “setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Dengan kata lain, jika Presiden RI tidak menyetujui materi kontroversial ini, maka Pengadilan Tipikor dan KPK dapat diselamatkan.

Oleh karena itu, kami:

  1. Mengecam keras Panitia Kerja DPR dan Jaksa Agung yang mewacanakan pengembalian Kuasa Penuntutan pada Kejaksaan Agung;
  2. Meminta Presiden SBY untuk secara tegas menolak pengesahan RUU Pengadilan Tipikor jika masih ada materi yang bertentangan dengan konstitusi; melawan pemberantasan korupsi dan membahayakan KPK dan Pengadilan Tipikor.

Jakarta, 13 September 2009

Koalisi Penyelamat Pemberantasan Korupsi
Indonesia Corruption Watch (ICW) - Indonesian Legal Resource Center (ILRC)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan