Tolak Pemberian Imunitas dan Impunitas Kepada Pejabat Publik

Press Release Aliansi Kota (SITA)

TOLAK PEMBERIAN IMUNITAS & IMPUNITAS KEPADA PEJABAT PUBLIK!!

Wakil Presiden Jusuf Kalla berencana membuat aturan yang akan melindungi pejabat publik dari kebijakan koruptif. Rencana ini disampaikan di dalam Rakornas Bidang Organisasi dan Kaderisasi Partai Golkar (21/05/06). Rencana ini juga mendapat dukungan dari wakil ketua DPR dari PBR, Zainal Maarif yang mengusulkan agar aturan tersebut dibuat dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Jusuf Kalla maupun Zainal beralasan bahwa aturan tersebut harus dibuat untuk melindungi pejabat publik di dalam membuat kebijakan, sehingga tidak ada ketakutan terkena tuntutan korupsi.

Rencana pembuatan kebijakan ini tentu saja sangat mencederai rasa keadilan masyarakat karena selama ini yang dirugikan dari maraknya praktek korupsi adalah masyarakat luas dalam bentuk hilangnya hak atas pelayanan publik yang baik. Kebijakan ini juga adalah kebijakan yang salah kaprah karena yang seharusnya dikuatkan dalam proses kebijakan adalah peran serta masyarakat bukan pejabat publiknya. Selama ini yang selalu dipinggirkan dan kalah dalam proses kebijakan publik adalah masyarakat luas. Pejabat publik sebagai pembuat kebijakan seringkali memboroskan anggaran dengan merancang kegiatan yang tidak dibutuhkan masyarakat dan jauh dari problem mendesak yang seharusnya dijawab. Hal tersebut diperparah dengan seringnya para pejabat publik melanggar peraturan perundang-undangan dan hukum yang berlaku di dalam membuat suatu kebijakan.

Bergulirnya reformasi yang diperkuat dengan berjalannya proses hukum terhadap kasus korupsi memang telah berhasil menyeret banyak pejabat publik terutama sejumlah kepala daerah dan anggota DPRD ke proses hukum. Berjalannya proses hukum telah berhasil menciptakan kegairahan baru bagi masyarakat untuk ikut serta membentuk pengawasan masyarakat dan memantau pelaksanaan anggaran terutama APBD. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam ikut berperan menciptakan good governance terutama di daerah tentu saja perlu mendapatkan dukungan bahkan harus terus dikembangkan hingga lebih terarah, efektif dan terkoordinasi bukan malah dihambat dengan memberikan perlindungan kepada pejabat publik.

Kebijakan ini juga dipandang sangat tidak beralasan karena konteks pejabat publik sebagai bagian dari birokrasi dan pembuat kebijakan tidak memiliki aturan yang jelas. Keinginan Kalla untuk mengalihkan kasus korupsi dalam pembuatan kebijakan yang seharusnya pidana menjadi hanya sekedar kejahatan administratif juga menunjukan pendapat ini sangat tidak beralasan dan tidak berdasar. Korupsi selalu terjadi dalam bentuk kebijakan dimana kebijakan tersebut dibuat dengan cara-cara koruptif seperti dengan melanggar hukum atau menyebabkan terjadinya kerugian negara atau masyarakat. Ketika perencanaan dan penyusunan APBD misalnya, dapat disebabkan oleh alokasi APBD sebagai sebuah produk kebijakan memang bermasalah karena dibuat dengan tidak rasional atau jauh dari kebutuhan riil masyarakat sehingga menciptakan ketidakadilan. Dalam kondisi ini semua pihak yang terlibat dalam proses penganggaran baik eksekutif ataupun legislatif harus bertanggung jawab. Begitu juga dalam proses implementasi dimana penggelembungan harga pembelian barang kerap terjadi sehingga anggaran menjadi tidak efektif karena tidak dapat memenuhi kebutuhan karena hanya dapat disediakan secara terbatas. Penyusutan bestek proyek-proyek infrastuktur juga dapat disebabkan oleh kebijakan yang salah.

Artinya apa yang disebut kebijakan tentu adalah dokumen yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat banyak sehingga jika kebijakan ini mengandung penyelewengan tentu dampaknya akan merugikan publik dan harus diproses secara pidana, karena tidak hanya sekedar pelanggaran prosedur biasa. Sanksi hukum pidana yang tegas juga diperlukan Pengalihan ke proses hukum tata usaha negara hanya dibenarkan atas surat keputusan yang dibuat dengan tujuan-tujuan yang bersifat khusus atau tidak berkaitan dengan kepentingan publik yang luas. Dari argumen ini sudah sangat jelas bahwa pendapat Kalla sangat tidak berdasar.

Jika aturan ini dibuat dengan tingkatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) maka aturan ini dapat menjadi dasar yang bisa mengesampingkan Undang-undang Anti Korupsi yang selama ini menjadi dasar tekstual dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini merupakan sebuah lompatan mundur dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, mengingat dengan adanya Perppu maka para pejabat di Indonesia mendapat pengecualian dalam hukum dan impunitas apabila melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana lain yang merugikan Negara dan masyarakat.

Berdasarkan penjelasan tersebut diatas SITA berkesimpulan sebagai berikut :
1. Jusuf Kalla tidak memahami sepenuhnya prinsip-prinsip hukum dan kebijakan publik sehingga pernyataan yang dibuat sangatlah tidak berdasar.
2. Rencana kebijakan ini sengaja digulirkan sebagai sebuah komitmen politik para elit partai untuk melindungi kader partai baik di jabatan politik, maupun birokrasi.
3. Menjadi titik masuk untuk memberikan imunitas dan impunitas atas para pelaku korupsi.
4. Dengan adanya imunitas hukum kepada pejabat publik, berarti pemerintah melakukan penegakan hukum yang diskriminatif dan bias kelas.
5. Jika peraturan ini jadi dibuat dan diterapkan maka akan sangat melemahkan semangat anti korupsi dari masyarakat maupun instansi negara.
6. Pernyataan ini juga bertentangan dengan komitmen pemerintahan SBY-Kalla untuk memberantas korupsi dan dapat merusak citra Pemerintah di mata publik.

Karena besarnya dampak dari rencana kebijakan ini maka SITA menyatakan menolak dibuatnya undang-undang tersebut di level kebijakan manapun.

Aliansi Kota :
LBH Jakarta, FITRA, ICW, KRHN

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan