Tolak Anggota Komisi Informasi Titipan

Pernyataan Pers Bersama

Tanpa banyak publikasi Departemen Komunikasi dan Informasi melaksanakan proses seleksi calon anggota Komisi Informasi. Proses yang sudah dimulai sejak 14 Oktober 2008 lalu terdiri dari beberapa tahapan seleksi yaitu pengumuman, seleksi administrasi, ujian tertulis dan psikotes, penyusunan makalah dan wawancara. Saat ini proses  telah memasuki tahap kedua yaitu ujian tertulis dan psikotes. Setidaknya 243 calon yang telah lolos seleksi administrasi mengikuti tahap tersebut pada 14 November 2008 lalu.

Sesuai skema dan jadwal yang telah dirumuskan panitia seleksi, tahapan kedua ini akan menjaring 63 orang. Kemudian melalui ujian pembuatan karya ilmiah dan wawancara akan tersaring 21 orang  nama yang selanjutnya akan diserahkan ke DPR untuk mengikuti fit and proper test.

 

Proses politik di DPR inilah yang nantinya menghasilkan tujuh orang komisioner yang diharapkan menjadi sosok yang ideal, memiliki kapabilitas dan integritas untuk memperjuangkan kepentingan publik dalam memperoleh informasi.

 

Namun, sosok calon anggota komisi informasi yang ideal rasanya sulit untuk didapatkan. Setidaknya ada dua masalah, pertama, adanya kekhawtiran upaya hegemoni pemerintah kepada panitia pansel untuk menetapkan 50 % wakil pemerintah dalam formasi anggota komisi.

 

Pasal 25 ayat (1), Undang Undang No 18 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik  (UU KIP) menjelaskan bahwa formasi anggota Komisi Informasi Pusat berjumlah 7 (tujuh) orang yang mencerminkan unsur pemerintah dan masyarakat. Sedangkan berapa proporsi wakil pemerintah dan masyarakat tidak diatur. Itu artinya, proporsi keterwakilan ditentukan melalui proses seleksi yang kompetitif, obyektif, transparan dan akuntabel.

 

Upaya pemerintah untuk "memesan" 50 % wakilnya dalam formasi anggota Komisi Informasi jelas merupakan wujud intervensi kepada Panitia Seleksi (Pansel). Sekaligus merusak obyektifitas seluruh instrumen seleksi, mulai tahap administrasi hingga Fit and Proper test.  

 

Problem kedua yaitu minimnya akses publik terhadap informasi para calon anggota Komisi Informasi. Prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat telah diatur dalam pasal 30 ayat 4 UU KIP. Dimana pasal ini menjelaskan bahwa setiap orang berhak mengajukan pendapat dan penilaian terhadap calon anggota Komisi Informasi yang telah diumumkan (sesuai pasal 30 ayat (3) UU KIP) dengan disertai alasan.

 

Kami menilai akses informasi terhadap para calon anggota komisi informasi sangat minim karena partisipasi masyarakat untuk melakukan penilaian dibatasi. Sesuai jadwal yang ada, masukan publik baru bisa dilakukan terhadap 63 calon yang telah lolos ujian tertulis dan psikotes.

 

Seharusnya, Sekretariat Kementerian Komunikasi dan Informatika maupun Panitia Seleksi memberikan masyarakat akses informasi (mempublikasikan), minimal biodata para calon yang telah lolos seleksi administrasi. Dengan demikian masyarakat memiliki keleluasaan waktu untuk memberikan masukan awal sekaligus menghindarkan masyarakat  untuk tidak "membeli kucing dalam karung".

 

Dari aspek partisipasi, para calon/ kandidat  yang mengikuti seleksi calon komisi informasi sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan penelusuran Koalisi sekitar 150 dari 243 kandidat yang telah lolos persyaratan administrasi, ternyata didominasi oleh kelompok partisan (anggota partai politik).

 

Selain itu, para kandidat juga didominasi oleh orang yang sekedar mencari pekerjaan (Job Seeker) maupun pencari keuntungungan karena pernah mengikuti proses pemilihan pejabat publik seperti seleksi pimpinan KPK, LPSK, Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, Bawaslu, maupun KPPU. Bahkan diindikasikan terdapat kandidat yang pernah menjadi pembela koruptor.

 

Dengan kondisi seperti ini tentu akan sangat sulit mendapatkan sosok anggota komisi informasi yang ideal dan membela kepentingan publik atas informasi.

 

Untuk menghindari hal ini terjadi maka kami menuntut Panitia Seleksi:

1.          

menolak upaya pemerintah untuk menitipkan 50% wakilnya dalam formasi anggota Komisi Informasi karena ini merupakan awalan untuk mengkooptasi Komisi Informasi

2.          

untuk menjaga independen dan obyektif (fairness) dalam memberikan penilaian kepada semua calon anggota Komisi Informasi

3.          

mewaspadai terhadap upaya pembajakan oleh Partai Politik maupun kelompok kepentingan lain yang tidak memiliki kompentensi dalam memperjuangkan akses publik terhadap informasi.

4.          

membuka ruang bagi publik untuk memberikan dan atau mendapatkan informasi terkait proses seleksi maupun rekam jejak calon anggota Komisi Informasi. 

 

   

Jakarta, 24 November 2008

 

Koalisi Kebebasan Memperoleh Informasi

 

Indonesia Corruption Watch – Imparsial - Yayasan SET

- Indonesia Parlementary Centre - Visi Anak Bangsa

 

cp. Agus Sunaryanto (ICW-08128576873)

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan