TNI Tidak Dididik untuk Kelola Bisnis

Tanpa ada aturan tentang larangan bagi militer untuk berbisnis, dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan, jumlah bisnis yang dikelola TNI tetap semakin berkurang. Pasalnya, para anggota TNI tidak dididik untuk menjadi seorang pengusaha yang mengelola bisnis tertentu.

Demikian benang merah pendapat pengamat pertahanan Andi Widjajanto dan pengamat masalah sosial Tamrin Amal Tomagola pada diskusi yang diselenggarakan dalam rangka peluncuran buku Ketika Moncong Senjata Ikut Berniaga di Jakarta, Senin (28/2) malam. Buku itu merupakan laporan penelitian tentang keterlibatan militer (TNI dan Polri) dalam bisnis di Bojonegoro, Boven Digoel, dan Poso.

Anggota TNI tidak dididik menjadi pengusaha. Jadi, biarkan saja bisnis yang mereka kelola selama ini mati perlahan-lahan, kata Andi.

Dikatakan, pada sekitar tahun awal 1980, jumlah bisnis yang dikelola militer sekitar 500 bidang usaha. Namun, pertengahan 1980, jumlah itu berkurang menjadi sekitar 227 bidang usaha.

Artinya, seiring perjalanan waktu, jumlah bisnis yang dikelola militer itu semakin berkurang. Penyebabnya karena bisnis yang dikelola militer itu kalah bersaing dengan bisnis yang dikelola swasta.

Dikatakan, aturan yang dikeluarkan pemerintah, khususnya pada Pasal 76 Undang-Undang Nomor 34/2004 tentang TNI merupakan cara lain untuk mengatasi persoalan bisnis militer itu. Jika aturan ini benar-benar ditegakkan, pada 2009 nanti setiap anggota TNI yang melakukan bisnis, baik secara legal atau ilegal, atas nama institusi atau perorangan, akan dianggap suatu tindakan pidana.

Selain itu, pemerintah harus memikirkan taraf kesejahteraan prajurit agar mereka tidak lagi melakukan bisnis. Caranya adalah dengan menaikan gaji para prajurit TNI.

Menurut hitungan saya, kalau setiap prajurit diberi gaji rata-rata sekitar Rp 3 juta, pemerintah hanya memberikan tambahan di APBN sebesar Rp 7 triliun. Memang pelaksanaannya tidak mudah, katanya.

Cara lain untuk mengatasi bisnis militer adalah dengan melihat aspek budaya masyarakat lokal. Pasalnya, seperti yang dipaparkan dalam buku Ketika Moncong Senjata Ikut Berniaga, bisnis yang dikelola anggota militer telah masuk ke wilayah masyarakat lokal.

Hal senada diungkapkan Tamrin Tomagola. Menurut dosen di jurusan Sosiologi Universitas Indonesia itu, posisi militer dalam suatu bisnis sebenarnya tidak lebih sebagai centeng. Militer sebenarnya lebih dimanfaatkan oleh pengusaha untuk menjaga kepentingan bisnis mereka.

Sumber: Suara Pembaruan, 1 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan