Tjetjep Harefa Divonis Enam Tahun Penjara

Rekanan Komisi Pemilihan Umum dalam proyek buku, Faebuadodo Tjahja Kelana Harefa alias Tjetjep Harefa, divonis enam tahun penjara oleh majelis hakim tindak pidana korupsi Mansyurdin Chaniago kemarin. Ia juga harus membayar denda Rp 300 juta dan membayar uang pengganti Rp 11,7 miliar. Putusan itu sesuai dengan tuntutan tim jaksa penuntut umum, yang terdiri atas Endro Wasistomo, I Kadek Wiradhana, dan Eddy Hartoyo.

Menurut majelis hakim, Tjetjep terbukti secara sah dan meyakinkan telah mengalihkan proyek pengadaan barang dan jasa kepada empat rekanannya, yaitu PT Jasuindo Tiga Perkasa, PT Violeta, PT Jakarta Computer Supplies, dan PT Ikrar Mandiri Abadi. Ini membuat pekerjaan KPU menjadi tidak efisien, kata Mansyurdin.

Selain itu, Tjetjep mendapatkan komisi sebesar Rp 12 miliar dari keempat perusahaan tersebut. Komisi ini, menurut majelis hakim, seharusnya tidak berhak diterima oleh Tjetjep karena dia tidak mengerjakan secara langsung pekerjaan itu. Tindakan tersebut oleh hakim dinilai sebagai memperkaya diri sendiri.

Tindakan memperkaya diri sendiri oleh Tjetjep juga terlihat dari jumlah biaya produksi pengadaan buku KPU yang ditanganinya. Jumlah produksi pengadaan buku seharusnya hanya mencapai Rp 11 miliar. Namun, oleh Tjetjep jumlah produksi ini dihitung mencapai Rp 31 miliar sehingga selisih biaya tersebut mencapai Rp 20 miliar.

Berdasarkan hal ini, dia diharuskan membayar kerugian negara sebesar Rp 20 miliar. Jumlah ini dikurangi dengan hasil penyitaan aset rumah dan mobil yang dibeli Tjetjep dari hasil pengerjaan buku sehingga jumlah total penggantian yang harus dibayar hanya sebesar Rp 11,7 miliar.

Selama pembacaan vonis, Tjetjep hanya diam tertunduk. Namun, ia kemudian menyatakan banding atas putusan majelis hakim tersebut. Saya tidak berhubungan langsung dengan KPU. Kenapa saya yang dihukum? Teman-teman yang mengerjakan langsung tidak. Saya tetap menyatakan tidak menyesal, kata dia.

Faisal Syahmenan, pengacara Tjetjep, juga menyatakan akan melakukan banding. Sebab, perhitungan kerugian negara yang dianggap sebagai korupsi dalam proyek pengadaan buku KPU ini dinilai tidak definitif. Yang menghitung BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan). BPKP juga tidak pernah mengaudit KPU. Seharusnya yang mengaudit adalah BPK. Perhitungan sumir kok akhirnya diputuskan. ENDANG PURWANTI | RIKY FERDIANTO

Sumber: Koran Tempo, 31 Mei 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan