Titik Rawan Korupsi pada Pilkada

Dalam berbagai kajian mengenai korupsi pemilihan umum, secara umum terdapat empat bentuk praktek penyimpangan yang dilakukan oleh kandidat dan partai politik. Mengingat keempat bentuk korupsi ini terjadi pada saat dan menjelang pemilu, kemungkinan besar hal ini juga akan terjadi pada saat pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung nanti.

Korupsi pemilu sendiri dalam waktu-waktu tertentu sering ditukarnamakan dengan politik uang (money politics), walaupun sebenarnya istilah politik uang memiliki dimensi yang lebih luas karena praktek ini bisa terjadi di luar momen pemilu. Dalam terminologi hukum, praktek politik uang disebut sebagai tindak pidana suap.

Bentuk pertama dari korupsi pemilu dikenal dengan istilah beli kursi (seat buying). Para kandidat yang ingin menjadi pejabat publik, seperti anggota DPR/DPRD, presiden, ataupun kepala daerah, dengan kekuatan uang dan koneksinya dapat memesan jatah kursi nomor wahid. Praktek ilegal ini akan tumbuh subur jika penentuan kandidat pejabat publik hanya boleh dilakukan oleh partai politik, tanpa memberikan peluang bagi kandidat independen untuk turut serta sebagai rival dalam kompetisi politik. Apalagi jika mekanisme pemilu internal partai, semisal konvensi, juga tidak membuka kesempatan bagi masyarakat (konstituen) untuk terlibat dalam pengambilan keputusan pada saat menentukan calon yang akan mewakili partai.

Berikutnya adalah praktek beli pengaruh (influence buying), yakni sebuah tindakan ilegal yang dilakukan kandidat atau partai politik dengan membeli tokoh masyarakat seperti pemuka agama dan pemuka adat untuk mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihan politik mereka. Dalam kondisi ketika pemilu dilakukan secara langsung, sebagaimana dalam pemilihan kepala daerah nanti, praktek pembelian pengaruh akan lebih efektif digunakan daripada pendekatan beli suara.

Setidaknya ada tiga alasan yang dapat menjelaskannya. Pertama, dalam pemilu langsung, tidak ada satu cara pun yang bisa digunakan untuk memastikan loyalitas pemilih kepada pihak yang membayar, mengingat semakin dijaminnya asas pemilu yang langsung, umum, bebas, dan rahasia.

Kedua, ongkos atau biaya membeli suara dengan model pemilihan langsung jauh lebih besar dibandingkan dengan membeli suara dalam sistem pemilu yang menggunakan perwakilan. Karena itu, akan lebih murah jika para tokoh masyarakat berpengaruh yang dibeli.

Ketiga, secara kultural, ikatan primordial antara masyarakat dan tokohnya, baik pemuka agama, pemuka adat, maupun tokoh informal lainnya, hingga saat ini masih sangat kental sehingga pengaruh mereka bisa digunakan untuk memobilisasi suara.

Bentuk lainnya adalah praktek pembelian penyelenggara pemilu, yaitu sebuah tindakan ilegal oleh kandidat atau partai politik dalam mempengaruhi proses pemilu dan hasilnya dengan menyuap para penyelenggara pemilu, dari tingkat desa, kecamatan, kelurahan, dan seterusnya, serta pengawas pemilu untuk melakukan praktek-praktek curang seperti menggandakan jumlah pemilih, memasukkan surat suara ilegal, membatalkan suara sah, dan memanipulasi perhitungan suara. Sesungguhnya praktek ini sangat berbahaya karena dapat mempengaruhi independensi penyelenggara pemilu, sekaligus dapat menelikung aspirasi pemilih yang seharusnya dicerminkan dari pilihan politik mereka pada saat mencoblos.

Di antara keempat bentuk korupsi pemilu, istilah yang terakhir ini paling dikenal, yakni pembelian suara. Secara sederhana, beli suara merupakan upaya ilegal dari kandidat dan partai politik untuk mempengaruhi suara pemilih dengan memberikan uang atau bentuk bantuan lainnya. Bentuk beli suara sendiri bisa bermacam-macam, bergantung pada metode dan jumlah uang yang dimiliki kandidat atau partai politik.

Berkaca pada pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun lalu, banyak ditemukan praktek beli suara, dari pemberian door prize, kupon bensin untuk massa kampanye, amplop tunai, hingga serangan fajar dari kampung satu ke kampung lain. Praktek beli suara sendiri tidak sekadar terjadi pada saat kampanye pemilu dan pada saat pencoblosan suara, tapi bisa juga dilakukan dengan mendompleng acara yang menyedot kehadiran banyak orang, seperti acara pengajian, arisan, pertandingan olahraga, ataupun pertemuan warga di tingkat RT, RW, dan kelurahan.

Barangkali, dalam lingkup korupsi pemilu, pihak yang harus diwaspadai karena memiliki potensi besar untuk melakukan penyimpangan adalah kandidat yang berposisi sebagai incumbent politician, yakni kandidat yang pada saat sekarang menjabat sebagai pejabat publik. Bagi kandidat kepala daerah yang termasuk kategori ini, mereka sangat diuntungkan karena memiliki akses besar terhadap sumber keuangan daerah (APBD) sekaligus kewenangan untuk mengalokasikan anggaran itu bagi kepentingan pemenangan pilkada.

Datangnya program-program populis ke kampung-kampung, seperti pembuatan jalan, pembangunan rumah ibadah, pembagian bahan kebutuhan pokok gratis, dan pemberian secara gratis bibit kepada petani, yang dilakukan secara tiba-tiba menjelang pilkada perlu dicurigai sebagai bentuk penggunaan dana publik untuk kepentingan pemenangan pilkada.

Selain itu, incumbent politicians memiliki kesempatan dan kekuasaan besar untuk mempengaruhi independensi panitia penyelenggara pilkada, mengingat tata cara penyelenggaraan pilkada hanya diatur dalam peraturan pemerintah (PP), yang notabene merupakan representasi dari kelompok politik yang tengah berkuasa saat ini.

Meskipun dalam prakteknya penyelenggaraan pilkada tetap dilaksanakan oleh KPUD, pertanggungjawaban KPUD tidak kepada KPU Pusat yang merupakan jalur hierarkis organisasinya, tapi kepada DPRD. Di titik inilah kemungkinan adanya tekanan, intimidasi, manipulasi, dan tidak terjaminnya independensi panitia penyelenggara pemilu dapat terjadi.

Perlu diingat bahwa keempat bentuk korupsi pemilu sebagaimana sudah dijelaskan di atas merupakan bentuk korupsi pemilu yang dicermati dari sisi belanja/pengeluaran. Sementara itu, di sisi lain, korupsi pemilu dari aspek pemasukan juga dapat terjadi. Hal ini biasanya berbentuk intervensi modal oleh kelompok-kelompok kepentingan dengan membiayai aktivitas politik kandidat atau partai politik dalam pilkada untuk memenangi pertarungan. Disebut suap karena intervensi modal terhadap praktek politik biasanya dilakukan dengan cara dan berasal dari sumber ilegal, yakni tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Memang PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, khususnya pasal 65 hingga pasal 69, telah mengatur dana kampanye bagi kandidat menyangkut beberapa aspek. Di antaranya mengenai batas besar sumbangan, sumber dana kampanye yang diperbolehkan, kewajiban pelaporan penggunaan dana kampanye, dan larangan menerima dana kampanye dari sumber tertentu.

Namun, praktek korupsi pemilu, baik dilihat dari sisi pengeluaran maupun dari sisi pemasukan, masih dapat terjadi. Hal ini mengingat penegakan hukum atas temuan terhadap dugaan terjadinya tindak pidana pemilu, khususnya yang terkait dengan praktek korupsi pemilu, tidak pernah diusut secara tuntas oleh aparat penegak hukum.

Misalnya saja, temuan Indonesia Corruption Watch atas berbagai daftar penyumbang fiktif pada saat pemilu presiden tahun 2004 tidak satu pun diselesaikan. Padahal korupsi pemilu merupakan momok tersendiri pada setiap proses pemilu, termasuk dalam pemilihan kepala daerah langsung, khususnya karena pengaruh negatif yang ditimbulkan terhadap kualitas pemilu itu sendiri.(Adnan Topan Husodo, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch)

Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 17 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan