Titik Nadir Penegakan Hukum

Penyiaran rekaman percakapan telepon antara pengusaha Anggodo Widjojo dan beberapa orang di hadapan majelis hakim Mahkamah Konstitusi membuat publik yakin akan luasnya dugaan jaring mafia peradilan di negeri ini. Mereka yang mengatur langkah lembaga hukum di negeri ini.

Belum habis ingatan orang bagaimana jaksa Urip Tri Gunawan ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat melakukan transaksi dengan Artalyta Suryani pada pertengahan tahun 2008. Pemutaran rekaman hasil penyadapan KPK terhadap Anggodo, adik tersangka korupsi proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan, Anggoro Widjojo, kembali menelanjangi penegak hukum di negeri ini.

Publik mengikuti pemutaran rekaman yang disiarkan langsung oleh televisi selama 4,5 jam pada 3 November 2009. Sejarah buruknya perilaku penegak hukum di negeri ini terbuka kembali. Dugaan kerja mafia peradilan tergambar dengan jelas dan indikasi keterlibatan polisi, jaksa, dan pengacara dalam upaya kriminalisasi terhadap KPK pun terasa nyata.

Meski dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR pada 5 November lalu Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri menjamin tidak ada rekayasa polisi dalam penanganan kasus itu, telinga tak dapat ditipu, mata tak dapat dikelabui. Menyimak tayangan langsung di MK dan membaca transkrip rekaman yang dimuat di sejumlah media cetak, nuansa persekongkolan sangat kasatmata dalam penetapan tersangka dan penahanan unsur pimpinan (nonaktif) KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.

Dalam jajak pendapat ini tingkat kepercayaan publik pada citra kelembagaan KPK meningkat tajam dan tercatat paling tinggi (71,5 persen) dibandingkan citra KPK pada bulan sebelumnya (lihat grafik). Dalam menilai kasus ini, secara umum responden juga memiliki kecenderungan lebih berpihak pada unsur pimpinan KPK, Bibit dan Chandra, ketimbang keterangan Polri. Responden berpendapat, rekaman percakapan yang diperdengarkan itu membuktikan ada upaya ”pengaturan” yang dilakukan Anggodo pada pejabat Polri, Kejaksaan Agung, maupun KPK.

Langkah berani MK, yang membeberkan rekaman dalam sidang terbuka, tak luput dari perhatian responden. Mereka menilai MK kian mengukuhkan diri sebagai pilar penjaga konstitusi dan penegakan hukum, tak sekadar menjadi wasit pemilu. MK berani melawan arus di dunia peradilan dan memanfaatkan celah hukum yang dimilikinya untuk mendorong sebuah pengungkapan kebobrokan. Langkah yang dilakukan MK menjadikan ia ”bintang baru”. Citra MK diapresiasi positif ketimbang sebelumnya saat lembaga ini beberapa tahun lalu berselisih kewenangan dengan Komisi Yudisial.

Kisruhnya saling bantah antarpejabat tinggi di tengah gambaran nyata penegakan hukum yang terpampang menyebabkan publik kian yakin, keadilan hanya berpihak pada mereka yang beruang. Misalnya terhadap vonis yang dijatuhkan hakim kepada pelaku pelanggaran hukum di Indonesia. Ketidakpercayaan disuarakan tiga dari empat responden yang menilai belum mencerminkan rasa keadilan dan tak bebas dari intervensi pihak luar lembaga pengadilan. Lebih parah lagi, hampir semua responden (89,8 persen) kini seakan diyakinkan untuk percaya keputusan hukum di Indonesia dapat dibeli dengan uang.

Ganyang mafia
Langkah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dalam program 100 hari pemerintahan, terlihat cukup sigap. Pemberantasan mafia hukum (tak hanya peradilan) menjadi unsur yang dikedepankan untuk dijalankan. Presiden kembali membuka PO Box 9949 berikut dengan kode GM (Ganyang Mafia) untuk menerima laporan masyarakat yang menjadi korban.

Responden juga menilai SBY mengambil langkah yang tepat dalam menyelesaikan kasus perseteruan antara KPK dan Polri, yakni dengan membentuk Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Bibit dan Chandra (Tim Delapan). Tim yang terdiri dari delapan orang dengan berbagai latar belakang itu diyakini sebagian besar publik akan mampu memberikan rekomendasi penyelesaian yang memuaskan rasa keadilan masyarakat.

Dalam jajak pendapat ini memang tampak, meski nama SBY beberapa kali disebut dalam rekaman sebagai pihak yang mendukung upaya pemberangusan KPK dan penahanan dua unsur pimpinan KPK, sebagian besar responden tidak memercayai pernyataan yang menyatakan Presiden terlibat. Sekitar 70 persen responden menilai upaya penyebutan nama Presiden lebih pada upaya pencatutan dan belum mengindikasikan keterlibatan SBY dalam kasus itu.

Cara pandang publik yang cenderung melihat dalam perspektif kelembagaan juga tampak dalam menilai kasus penahanan Bibit-Chandra. Alih-alih menengarai besar-kecil keterlibatan Bibit-Chandra dalam kasus korupsi itu, mereka melihat upaya penahanan pimpinan KPK sebagai langkah memburukkan citra KPK. Dengan kata lain, menjadi perang pembentukan opini yang ditujukan untuk melemahkan lembaga itu.

Di tengah masalah yang tengah membelitnya, bagian terbesar responden berharap KPK tetap serius mengusut skandal Bank Century. Pemberian dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun ke Bank Century, selain merugikan keuangan negara, juga dianggap sebagai perampokan uang rakyat terbesar pascareformasi 1998. Di mata responden, aparat penegak hukum dinilai tak serius menangani kasus itu. Sama tak seriusnya dengan cara penegak hukum menangani kasus dugaan korupsi proyek SKRT yang melibatkan PT Masaro Radiokom milik Anggoro.

Sulit dimungkiri besarnya peran media dalam pembentukan opini publik dalam kasus ini. Pemaparan yang terus-menerus dan mendalam menjadikan media cetak dan elektronik berubah peran menjadi panggung pengadilan itu sendiri. Pemaparan fakta yang setengah-setengah dan tidak berimbang menjadikan pemahaman publik juga berat sebelah.

Besarnya perhatian publik pada keberlangsungan proses kasus ini dan penyelesaiannya potensial ”mendidik” masyarakat untuk melek politik dan hukum. Sebagian besar responden (84,5 persen) juga menyatakan mengikuti pemutaran pembicaraan Anggodo.  (litbang kompas)

BE JULIANERY dan TOTO SURYANINGTYAS

Sumber: Kompas, 9 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan