Titik Lemah Vonis Korupsi mantan Bupati Siak

ICW dengan melibatkan majelis eksaminasi telah melakukan kajian atas putusan perkara korupsi Arwin AS, mantan Bupati Siak yang divonis 4 tahun penjara, denda Rp 200 juta dan uang pengganti Rp 800 juta serta US $ 2000 oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pekan Baru, Riau.

Nilai strategis dari kasus tersebut adalah karena dugaan kerugian negara yang timbul dari praktek korupsi yang dilakukan Arwin AS mencapai Rp 300 miliar, namun majelis hakim hanya menghukum yang bersangkutan dengan uang pengganti yang sangat kecil. Adapun majelis eksaminasi yang menganalisa putusan tersebut adalah Dr. Mahmud Mulyadi,SH, M.Hum, Dr. Mirza Nasution,SH, M.Hum dan TR Arif Faisal, SH.

Kajian tim eksaminasi putusan Arwin AS menyimpulkan bahwa setidaknya terdapat dua faktor yang menyebabkan vonis atas terdakwa mantan Bupati Siak tidak maksimal. Pertama, dakwaan JPU KPK yang kabur. Dalam dakwaannya, JPU KPK mencantumkan Pasal 65 ayat (1) KUHP tentang gabungan dalam beberapa perbuatan (Meerdaadse samenloop atau concursus realis) yaitu “perbarengan perbuatan”. Oleh karena itu, seharusnya JPU KPK mencantumkan tindak pidana lain di luar Tindak Pidana Korupsi dalam surat dakwaannya sebagai bagian dari concursus realis (dalam hal ini misalnya Tindak Pidana Kehutanan). Namun faktanya, JPU KPK tidak mencantumkan pelanggaran tindak pidana kehutanan dalam surat dakwaannya.

Kemudian, uraian dakwaan JPU juga tidak sesuai dengan pasal yang didakwakan karena berdasarkan fakta-fakta hukum pada perkara ini telah terjadi perbuatan gratifikasi kepada terdakwa yang dilakukan perusahaan-perusahaan yang mendapatkan ijin. Oleh karena itu, semestinya terdakwa juga dikenakan Pasal 11 UUPTPK. Namun sayangnya JPU tidak memuat Pasal 11 UU PTPK di dalam surat dakwaannya.    

Kedua, adanya kerancuan pertimbangan majelis hakim. Dalam memutus perkara tersebut, terdapat dissenting opinion dari dua orang hakim anggota yang intinya menyatakan tidak ada perbuatan melawan hukum pada diri terdakwa dengan alasan, dari 6 IUPHHK-HT yang dikeluarkan terdakwa, ada 1 yang tidak bermasalah. Sehingga majelis hakim menarik kesimpulan bahwa yang lainnya juga tidak bermasalah. Dua hakim yang memberikan dissenting opinion juga berpendapat bahwa yang bertanggung jawab atas penebangan hutan adalah pihak yang memberikan RKT dan RKL, dalam hal ini Gubernur dan Kepala Dinas Propinsi Riau, bukan Bupati.

Menurut majelis eksaminasi, penarikan kesimpulan hakim dalam kasus Arwin AS rentan sekali dengan kekeliruan karena menggunakan silogsme deduksi induktif, yakni karena ada 1 IUPHHK-HT tidak bermasalah, maka 5 IUPHHKHT lainnya juga tidak bermasalah.

Atas dua kelemahan vonis tersebut, majelis eksaminasi merekomendasikan agar ada upaya meningkatkan kapasitas JPU dan hakim dalam menangani perkara korupsi yang berkaitan dengan masalah lingkungan dan kehutanan. Rekomendasi lainnya adalah agar MA dapat memperbaiki struktur putusan sekaligus mempertimbangkan permintaan tanggungjawab dari korporasi dalam tindak pidana korupsi. Aparat penegak hukum juga perlu mengedepankan prinsip asset recovery dalam pemberantasan korupsi dengan memaksimalkan perhitungan kerugian negara yang dapat digunakan sebagai dasar untuk memberikan vonis maksimal dalam konteks denda.***

baca press release terkait di sini...

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan