Tinggal Cari Unsur Pidana

TEMUAN Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang adanya markup angka subsidi BBM sebesar Rp 3,6 triliun bisa membawa konsekuensi yang luas bagi manajemen PT Pertamina. Apalagi jika dalam audit lanjutan ditemukan unsur pidana sehingga terjadi pembengkakan angka subsidi itu.

Apakah (dalam audit lanjutan, Red) ditemukan unsur pidana korupsi atau hanya sekadar karena ketidakhati-hatian. Kalau persoalannya masuk unsur pidana, maka harus segera diteruskan pada aparat, entah KPK, Tipikor, atau Kejakgung, kata anggota Komisi VII DPR Ramson Siagian, menanggapi hasil audit BPK itu.

Menurut Ramson, sebetulnya temuan BPK itu tidak mengherankan. Malah, Panitia Anggaran DPR menemukan selisih hingga Rp 25 triliun dalam penentuan alokasi subsidi BBM tahun 2005.

Ini merupakan contoh ketidakhati-hatian yang dilakukan oleh pemerintah. Namun, sudah kita lakukan revisi dalam alokasi anggaran tersebut, ujarnya.

Anggota Fraksi PDI Perjuangan tersebut menjelaskan bahwa pemerintah pertama kali menetapkan subsidi BBM untuk tahun ini bisa sebesar Rp 138 triliun. Jumlah ini didapatkan dari selisih dari harga pokok pengadaan sebesar Rp 237 triliun dikurangi dengan jumlah penjualan Rp 98,4 triliun.

Penentuan ini tidak dilakukan dengan cermat. Buktinya, dari tiga hari kerja DPR, ditemukan bahwa harga pokok pengadaan bisa ditekan hingga Rp 218,7 triliun. Jumlah pembeliannya bisa meningkat menjadi Rp 105 triliun, ungkapnya.

Hal ini disebabkan oleh beberapa pergeseran angka di sektor pengadaan maupun pembelian. Besaran subsidi ini persoalan negara, bukan tawar-menawar di pasar. Menawar di pasar saja sulit dalam tiga hari bisa menurunkan angka hingga Rp 25 triliun, paparnya.

Oleh karena itu, ketika ditemukan ada markup subsidi BBM hingga Rp 3,6 triliun, itu bukan hal yang mengherankan. Kami yakin setelah akhirnya ditetapkan subsidi BBM Rp 113,7 triliun, setelah diaudit khusus oleh BPK, jumlah ini bisa ditekan, ujarnya.

Ekonom UGM Revrisond Baswir mengemukakan bahwa persoalan tidak transparannya pengadaan BBM merupakan persoalan lama yang tidak segera diselesaikan oleh pemerintah. Dari dulu dikatakan bahwa sebetulnya masalah-masalah seperti ini harus dituntaskan terlebih dahulu sebelum pemerintah mengambil kebijakan untuk menaikkan BBM, ungkapnya.

Temuan BPK tersebut, menurut Soni -sapaan Revrisond Baswir-, akan semakin menyakiti rakyat yang sudah memberikan kepercayaannya pada presiden terpilih. Harus ada tindak lanjut terhadap persoalan tersebut, katanya.

Ketika dikonfirmasi, beberapa pejabat Pertamina tidak banyak berkomentar terhadap temuan BPK tersebut. Kepala Divisi BBM PT Pertamina (persero) Ahmad Fasial mengemukakan bahwa mungkin terjadi kesalahan persepsi posting anggaran antara pihak auditor, yakni BPK, dan keuangan Pertamina.

Tidak mungkin Pertamina melakukan penyimpangan atau bahkan korupsi hingga sebesar Rp 3,6 triliun tersebut. Mungkin ada kesalahan dalam persepsi menangani alokasi. Contohnya, dalam persepsi Pertamina, seharusnya disubsidi, namun menurut BPK tidak perlu, jelasnya.

Lebih lanjut, Faisal menjelaskan bahwa hal itu tidak berkaitan dengan kuota subsidi BBM. Persoalan tersebut menyangkut alokasi anggaran.

Kepala Humas PT Pertamina Abadi Purnomo menambahkan bahwa Pertamina akan lebih dahulu mempelajari temuan tersebut sebelum memberikan klarifikasi. Ini domain anggaran sehingga akan dipelajari terlebih dahulu oleh direktur keuangan. Kemudian Pertamina menentukan sikap resmi, ujarnya. (iw)

Sumber: Jawa Pos, 11 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan