Tim Temukan 30 Dugaan Korupsi; 7 Kasus Kerugian Negara Senilai Rp 2,2 Triliun
Setelah sekitar tiga bulan melakukan operasi intelijen, Tim Investigasi Korupsi untuk BUMN menemukan sekitar 30 kasus dugaan korupsi di sejumlah BUMN. Tujuh kasus di antaranya, yang diduga menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 2,2 triliun, telah diserahkan kepada KPK dan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketua Tim Investigasi Korupsi untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Lendo Novo mengungkap hal itu dalam Diskusi Panel Suap dalam Perspektif Hukum dan Ekonomi yang digelar DPP Partai Golkar, Selasa (26/7). Dalam acara itu tampil juga ahli hukum Todung Mulya Lubis, Muladi, dan pengusaha MS Hidayat.
Menurut Lendo, operasi intelijen yang dilakukan Tim Investigasi Korupsi untuk BUMN merupakan kegiatan pengumpulan data/informasi yang kemudian dianalisis, dinilai, dan dikaji, termasuk prediksi kejadian dan tindakan yang akan dilakukan. Data yang dianggap matang diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tim Tastipikor, kejaksaan, atau kepolisian.
Peran kami hanya sampai di situ, hanya melakukan proses intelijen. Kami tak bisa melakukan audit investigasi formal seperti BPK dan BPKP, katanya.
Hasilnya sekitar 30 kasus dugaan korupsi. Kasus korupsi di BUMN itu siap diajukan ke lembaga yudikatif untuk dieksekusi. Kami sudah menyampaikan ke Presiden dan berkoordinasi dengan KPK, Tim Tastipikor, kejaksaan, dan kepolisian, katanya.
Tujuh kasus di antaranya telah diserahkan ke KPK dan Tim Tastipikor beberapa waktu lalu. Kasus itu menyangkut kerugian negara sebesar Rp 2,2 triliun. Itu hasil kerja sekitar dua minggu pertama. Artinya, kalau kita bekerja dalam satu tahun, bisa dibayangkan berapa triliun yang bisa kita temukan, kata Lendo tanpa merinci ketujuh kasus itu.
Menurut Lendo, informasi tentang kasus korupsi di BUMN selain diperoleh dari operasi intelijen, juga didapat dari masukan serikat pekerja, mantan direksi, dan agen-agen sejumlah BUMN.
Suap sulit diberantas
Dalam diskusi, Todung Mulya Lubis mengatakan, hingga kini perundang-undangan tentang korupsi dan lembaga pemberantasan korupsi sudah cukup banyak, tetapi dalam praktik di lapangan korupsi terus merajalela. Apa yang salah. Kelompok masyarakat sipil makin banyak, pers makin bebas, kampanye antikorupsi gencar dilakukan, tetapi korupsi dan suap tidak bisa diberantas, paparnya.
MS Hidayat menilai, kebiasaan suap-menyuap telah berlangsung lama sehingga telah mengancam kelangsungan usaha. Moral makin hancur, reputasi perusahaan rusak, karyawan terdemotivasi, nilai saham anjlok, katanya.
Muladi menambahkan, suap di Indonesia bukan hal baru. Harusnya orang yang terlibat suap malu karena suap adalah perbuatan tercela dan merendahkan martabat kemanusiaan. (SON)
Sumber: Kompas, 27 Juli 2005