Tim Penyusun RUU Antikorupsi Vakum

Kalau yang terlibat presiden atau menteri, baru luar biasa.

Tim penyusun Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tengah vakum alias tidak bekerja lagi. Sebab, keanggotaan tim ini telah berakhir pada Desember 2006. Kami sedang menunggu surat keputusan yang baru dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, kata mantan ketua tim, Andi Hamzah, melalui sambungan telepon kemarin.

Andi menyatakan semua anggota tim yang berjumlah sepuluh orang sudah menandatangani surat kesediaan untuk dipilih kembali dalam tim baru yang akan dibentuk Departemen Hukum dan HAM. Di antaranya adalah ahli hukum pidana Universitas Krisna Dwipayana, Malang, Indriarto Senoadji; ahli pidana Universitas Indonesia, Rudy Satrio; dan Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Yunus Husein.

Koordinator Tim Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch Emerson Juntho mempertanyakan para anggota tim tersebut. Menurut dia, selain menjadi akademisi, beberapa di antaranya juga berprofesi sebagai pengacara. Ada konflik kepentingan. Anggota tim harus dikaji ulang, ujarnya.

Andi menampik adanya konflik kepentingan dalam tim. Tak apa-apa. Kami cuma mengikuti konvensi internasional, ujarnya. Andi mengakui ada anggota yang pernah menjadi pengacara tersangka korupsi. Mereka yang berprasangka bisa kaget karena cakupan korupsi kami perluas, ujarnya.

Draf RUU Antikorupsi memang memancing sejumlah kontroversi. Draf yang juga diperoleh Tempo itu di antaranya berisi penghapusan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi untuk penuntutan, peniadaan pengadilan antikorupsi, ditiadakannya hakim ad hoc, dan tidak adanya aturan pidana minimal.

Sementara itu, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan mengingatkan bahwa tidak semua kasus korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Itu (extraordinary crime) adalah istilah yang sangat relatif, katanya Jumat pekan lalu.

Menurut Bagir, harus dibedakan jumlah korupsi yang hanya Rp 3 juta dengan yang miliaran. Itu yang perlu dipikirkan, apakah yang Rp 3 juta masuk dalam kejahatan luar biasa.

Andi sepakat dengan Bagir. Menurut dia, korupsi yang termasuk kejahatan luar biasa tergantung nilai, modus, dan orang yang terlibat. Kalau yang terlibat presiden atau menteri, baru luar biasa, ujarnya.

Pernyataan ini dikecam Emerson. Menurut dia, seharusnya semua kasus korupsi termasuk kejahatan luar biasa. Karena itu sudah sistemik dan menjadi kebiasaan birokrasi, ujarnya. TITO SIANIPAR

Sumber: Koran Tempo, 16 April 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan