Tim pengacara Komjen Pol Susno Duadji Ajukan Uji Materi ke MK

Tim pengacara Komjen Pol Susno Duadji akhirnya secara resmi mengajukan uji materi terhadap pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ke Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin (14/6). Para pembela hukum mantan Kabareskrim Mabes Polri itu menganggap ayat dan pasal tersebut membahayakan whistle blower yang berupaya membongkar kasus. Pasalnya, mereka bisa diproses hukum dalam kasus yang sama.

Para pengacara yang mendaftarkan uji materi itu, antara lain, Maqdir Ismail, Ari Yusuf Amir, Mohamad Assegaf, dan Henry Yosodiningrat.

Maqdir mengatakan, apabila ayat 2 itu tetap ada, mereka yang menjadi whistle blower takut membongkar borok berbagai kasus. ''Ayat itu akan menghambat partisipasi masyarakat dalam hukum dan pemerintahan. Rasa aman masyarakat juga terganggu karena mereka tidak mendapat perlindungan hukum,'' jelasnya.

Karena itu, mereka meminta MK menghapuskan pasal 10 ayat 2 UU tersebut dengan menyatakan bahwa ayat itu bertentangan dengan UUD 1945. Bila MK menilai pasal itu tidak bertentangan, para pengacara meminta MK memberikan tafsiran konstitusional. Yakni, seorang saksi yang menjadi tersangka dalam kasus sama mendapatkan perlindungan hukum dengan dibebaskan dari tuntutan pidana.

Susno, kata Maqdir, awalnya mengungkapkan informasi tentang praktik mafia kasus di Mabes Polri. Yakni, penerimaan suap untuk penyelesaian kasus PT Salmah Arowana Lesatri (SAL). Namun, upaya mengungkap kasus itu tak membuat Susno mendapat perlindungan hukum.

Mantan Kapolda Jabar itu malah diproses hukum dengan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang sama. ''Kalau whistle blower tetap diproses hukum, tidak akan ada masyarakat yang mau menjadi whistle blower,'' ujarnya.

Ari Yusuf Amir menyatakan hal senada. Menurut dia, Susno melaporkan kasus SAL dan praktik mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan kepada DPR dan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum pada Maret lalu. Tetapi, sebulan kemudian, dia ditetapkan sebagai tersangka. ''Karena itu, kami butuh penafsiran baru terhadap ayat 2 pasal 10 UU tersebut,'' tuturnya.

Mohamad Assegaf memberikan alasan lain. Menurut dia, ada benturan antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Mabes Polri. Ketika LPSK merekomendasikan perlindungan fisik, Mabes Polri tidak mau meluluskan. Alasannya, Rutan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, sudah cukup aman. ''Itu menunjukkan adanya penafsiran berbeda di antara dua lembaga tersebut,'' jelasnya.

Sementara itu, Mabes Polri memiliki alasan tersendiri untuk tidak menyerahkan mantan Kabareskrim Susno ke LPSK. Namun, alasan Mabes Polri itu justru menjadi bumerang. Panja Penegakan Hukum Komisi III DPR menganggap sikap polisi tersebut sarat akan konflik kepentingan.

Hal tersebut terekam dalam rapat kerja panja yang mengundang wakil LPSK dan Polri di gedung DPR kemarin (14/6). Anggota panja Dewi Asmara menanyakan alasan penolakan tim independen Polri untuk menyerahkan Susno kepada LPSK. "Yang dilakukan oleh Susno adalah partisipasi publik. Sebagai whistle blower, seharusnya dia dilindungi karena laporannya benar dan menyeret penegak hukum lain," tutur Dewi.

Menurut dia, Polri, tampaknya, terlalu mencampuradukkan laporan Susno dengan kasus-kasus yang dialamatkan kepadanya. Sejumlah kasus, di antaranya perkara suap SAL dan dana Pilkada Jabar 2008, justru menenggelamkan sikap Susno yang mengungkap mafia pajak dan hukum. "Yang bersangkutan masih punya hak. Dia harus dilindungi sebagai saksi kasus mafia pajak," papar dia.

Mewakili Polri, Wakabareskrim Irjen Pol Dikdik Mulyana membantah anggapan bahwa Polri tidak bisa melaksanakan ketentuan sebagaimana UU LPSK. Menurut dia, sesuai dengan pasal 10 ayat 2 dan ayat 3 UU LPSK, Polri justru memiliki alasan untuk tetap menahan Susno. "UU LPSK itu saling me­lengkapi dengan KUHAP. Dalam hal tersebut, saksi tidak bisa dibebaskan dari tuntutan pidana," ucap Dikdik.

Dia menambahkan, ada perbedaan pemahaman antara Polri, LPSK, dan DPR saat menafsirkan ketentuan UU LPSK. Masing-masing memiliki dasar sendiri. Hal itu tidak bisa disalahkan. "Kami berangkat dari maqom yang berbeda," ujar Dikdik. (aga/bay/ken/c7/c11/dwi/agm)
Sumber: Jawa Pos, 15 Juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan