Tim Peneliti UI: TNI Jadi Beking cukong kayu dan Pembalak Liar

Penelitian UI sejak 1999

Mabes TNI, tampaknya, harus mengecek ke lapangan kepada anggotanya di perbatasan RI-Malaysia. Terutama Nunukan, Kaltim. Tim peneliti Universitas Indonesia (UI) menemukan fakta bahwa selama 10 tahun anggota TNI diduga menjadi beking para cukong kayu dan pembalak liar dalam penyelundupan kayu ke Malaysia.

''Kami memulai sejak 1999 dan memasuki finishing akhir penelitian Desember 2009. Penelitian itu baru kami sampaikan ke publik pekan ini,'' ujar Tirta Nugraha Mursitama PhD, ketua tim peneliti dari Center for East Asian Cooperation Studis (Ceacos) FISIP UI, kepada Jawa Pos kemarin (31/01).

Penelitian itu berjudul Keterlibatan Militer dalam Praktik Bisnis Ilegal di Perbatasan Indo Malaya: Studi Kasus Pembalakan Liar Di Kaltim. Selain Tirta, ada empat peneliti, yaitu Dinna Wisnu PhD (peneliti), Steven Y. Pailah SH (asisten peneliti), dan Derry Aplianta SSos (asisten peneliti), Nara Mashista SSos (asisten peneliti).

Tirta menjelaskan, dari temuan di lapangan ada dua pola utama keterlibatan TNI. ''Yang pertama, pola pembalakan liar dengan modus izin pemanfaatan kayu rakyat lalu. Kedua, pola pembalakan liar dengan modus upeti, pembiaran, dan perlindungan,'' kata alumnus Gakushuin University Tokyo itu.

Dalam riset tersebut juga ditemukan fakta, kegiatan pembalakan liar secara terpusat dibiayai cukong atau yang juga dikenal dengan sebutan ''toke'' yang disalurkan kepada pelaku pembalakan liar yang biasanya berupa PT maupun koperasi. ''Hasilnya kembali didistribusikan ke berbagai oknum di berbagai instansi, seperti TNI dan Kementerian Dephut melalui dinas kehutanan,'' kata dosen Hubungan Internasional (HI) FISIP UI itu.

Menurut Tirta, peran oknum TNI sebagai penerima upeti yang juga bertugas mengamankan dan membiarkan kegiatan pembalakan liar di daerah perbatasan sebelum diterima cukong di Malaysia. ''Polisi dalam menjalankan fungsi pengawasan secara dominan ditentukan oleh TNI. Sedangkan kinerja imigrasi dan bea cukai sangat lemah karena banyak ''jalur tikus'' yang tidak terjangkau,'' kata Tirta.

Penelitian yang berlangsung hingga 10 tahun itu juga melibatkan wawancara narasumber tertutup dari instansi TNI dan instansi lokal terkait lainnya. ''Yang ada indikasi terlibat sudah kami datangi untuk kroscek. Ini penelitian ilmiah. Jadi tidak ada motif lain selain akademis murni,'' katanya. Menurut Tirta, respons pejabat lokal tidak semuanya sigap.

Dari wawancara lapangan dan investigasi warga, menurut Tirta, ada empat alur kerja sama pembalakan liar. Pertama, konspirasi terjadi antara pemodal besar atau bos toke asal Malaysia-RI dan pejabat atau mantan pejabat yang berfungsi sebagai pelindung. Dengan menjalankan fungsi sebagai pelindung, mereka menginstruksi koperasi atau yayasan dari instansi tertentu. Kedua, yayasan/koperasi kemudian berhubungan erat dengan cukong pengumpul kayu. ''Mereka bekerja sama untuk mendapatkan dokumen kayu ilegal dari departemen atau dinas kehutanan,'' katanya.

Ketiga, cukong pengumpul kayu dengan izin yang dikantongi yang diperoleh dari Kementererian Kehutanan atau dinas kehutanan atas pengaruh yayasan atau koperasi kemudian berhubungan dengan masyarakat pekerja sebagai penebang atau pengumpul kayu.

Keempat, cukong kayu berhubungan dengan pemodal besar atau bos toke untuk mendapatkan modal. Modal tersebut selanjutnya diberikan kepada masyarakat pekerja untuk membeli modal dan alat kerja untuk menebang hutan. ''Masyarakat pekerja akan memberikan kayu tebangannya kepada cukong pengumpul kayu,'' katanya.

Secara terpisah, Kapuspen Mabes TNI Marsekal Muda Sagom Tamboen membantah keras hasil riset itu. ''Ah, itu usang. Sudah sepuluh tahun, mengapa baru diungkap sekarang,'' kata jenderal dua bintang itu kepada Jawa Pos tadi malam. Menurut Sagom, penelitian UI itu juga dikutip harian Utusan di Kuala Lumpur, Malaysia, secara demonstratif. ''Koran di Indonesia jangan terpancing dong. Itu ada motif tertentu yang tersembunyi,'' kata mantan Kadispen TNI-AU itu. Terhadap harian Utusan Malaysia, TNI akan menyampaikan hak jawab karena tidak ada konfirmasi dari pejabat terkait.

Sagom memastikan tidak ada oknum yang dituding dalam penelitian itu. ''Itu sepuluh tahun lalu. Apa karena kita gencar menertibkan patok-patok di perbatasan dengan Malaysia, lantas muncul isu ini? Jadi, ada motif tertentu,'' katanya.

Tapi, bukankah UI yang melakukan penelitian? "Saya tidak mau masuk ke metodenya. Yang jelas, itu masa lalu. Sekarang sudah tidak ada,'' katanya.

TNI, kata Sagom, berkomitmen untuk menindak tegas anggotanya yang melanggar. ''Itu sudah perintah panglima TNI, tidak ada kompromi,'' katanya.

Sementara itu, Dubes Malaysia untuk RI Dato Zaenal Abidin mengatakan, pihaknya merasa belum menerima kabar atau pemberitahuan resmi dari TNI terkait pemberitaan hasil riset UI di media Malaysia. Karena itu, wakil pemerintah Malaysia belum memutuskan langkah untuk menanggapi protes TNI tersebut. ''Saya belum menerima kabar terkait hal itu. Jadi, saya kira terlalu dini bagi kami untuk menanggapi,'' ujar Dato Zaenal kepada Jawa Pos melalui telepon tadi malam.

Dia kemudian mengarahkan agar protes tersebut ditujukan kepada perwakilan harian Utusan Malaysia di Jakarta. Menurut dia, hal itu akan lebih tepat dan sesuai karena terkait koridor pemberitaan media. Namun, ujar dia, Kedubes Malaysia siap memfasilitasi bila TNI membutuhkan media komunikasi dua arah dengan harian Utusan. ''Lebih baik bila kami memahami dan mempelajari dulu informasi ini. Mungkin, saat ini yang lebih berkompeten menaggapi ini adalah media tersebut,'' ujarnya. (rdl/zul/agm)

Sumber: Jawa Pos, 1 Februari 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan