Tim Pemburu Koruptor Usut Harta Pak Harto

Kejaksaan Agung terus berupaya meyakinkan publik bahwa penerbitan SKPP (surat ketetapan penghentian penuntutan) Pak Harto tidak berarti mengampuni mantan penguasa Orde Baru itu. Selain menyiapkan gugatan perdata, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh kini sedang mempertimbangkan pengusutan harta Pak Harto.

Kita tidak perlu membentuk tim baru. Pelacakan harta (Pak Harto) itu mungkin masuk dalam target selanjutnya tim pemburu koruptor (TPK), ujar Arman - panggilan jaksa agung- saat raker dengan Komisi III DPR (membidangi hukum) di gedung MPR/DPR Jakarta kemarin.

Arman didampingi Wakil Jaksa Agung Basrief Arief, JAM Pidsus Hendarman Supandji, dan JAM Pengawasan Achmad Lopa. Raker yang diikuti 37 anggota DPR itu dipimpin Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan.

Menurut jaksa agung, perburuan aset Soeharto mungkin terkendala SK Menko Polhukam terkait batasan kerja TPK. Yakni, hanya memiliki target pengejaran aset 13 koruptor. Permasalahan tersebut akan dikaji bersama TPK. Ini perlu dibicarakan lebih lanjut, jelas pejabat kelahiran Pekalongan itu.

Sayang, dalam kesempatan tersebut, Arman tidak membocorkan informasi sebagian aset Soeharto yang ditarget bisa disita negara.

Bagaimana respons TPK? Ketua TPK Basrief Arief mengaku belum bisa memastikan target yang dibebankan jaksa agung tersebut. Yang pasti, dia akan melaksanakan jika diperintah jaksa agung. Kalau memang untuk kepentingan negara, mengapa tidak? ucapnya. Basrief mengaku belum punya data soal aset Soeharto yang mungkin bisa diburu itu.

Mantan JPU kasus Soeharto Muchtar Arifin mengatakan, total aset Soeharto hasil audit kejaksaan mencapai USD 4,19 juta dan Rp 1,3 triliun. Itu hasil audit kejaksaan. Bagaimana perkembangan aset (Soeharto) terakhir, kami belum tahu, jelas Muchtar yang kini menjadi JAM intelijen. Menurut dia, aset tersebut bisa saja menyusut atau sebagian sudah diambil alih pemerintah, seperti pengelolaan tujuh yayasan yang pernah diketuai Soeharto.

Dari catatan koran ini, pada 7 Desember 1998, Jaksa Agung Andi Ghalib (kala itu) di depan Komisi I DPR pernah membeberkan aset Soeharto. Dari hasil pemeriksaan terungkap bahwa kekayaan itu tersebar atas nama Yayasan Dharmais, Dakab, Supersemar, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana Sejahtera Mandiri (DSM), Gotong Royong, dan Trikora. Total kekayaan yang terdata mencapai Rp 4,014 triliun.

Ghalib saat itu juga membeberkan temuan rekening atas nama Soeharto di 72 bank di dalam negeri dengan nilai deposito Rp 24 miliar, Rp 23 miliar tersimpan di rekening BCA, dan tanah seluas 400 ribu hektare atas nama keluarga Cendana.

SKPP Jadi Sorotan
Dalam raker kemarin, jaksa agung benar-benar diadili puluhan anggota komisi III terkait dengan kebijakan penerbitan SKPP. Sorotan tajam dikemukakan anggota dewan Yassona Laoly (FPDIP), Panda Nababan (FPDIP), Gayus Lumbuun (FPDIP), Trimedya Panjaitan (FPDIP), Benny K. Harman (FPD), Patrialis Akbar (FPAN), dan sejumlah anggota DPR lain.

Yassona mencurigai, jaksa agung sudah dijadikan tumbal atau sengaja menumbalkan diri dengan menerbitkan SKPP. Saya melihat jaksa agung di bawah tekanan untuk segera mengambil keputusan. Menurut saya, SKPP itu melanggar prinsip negara hukum, tudingnya.

Panda Nababan juga menyayangkan keluarnya SKPP itu. Sebab, jika alasannya Pak Harto sakit, sesuai fatwa Mahkamah Agung, kejaksaan dibebankan untuk mengobatinya. Apakah kejaksaan sudah melakukan pengobatan tersebut? Perintah MA itu membebankan pada jaksa mengobati Soeharto, jadi bukan konsultasi dengan dokter, ujarnya.

Panda juga menyindir jaksa agung yang pernah mengeluhkan biaya pengobatan Soeharto yang mencapai Rp 200 juta. Kalau memang keberatan, mestinya dianggarkan. Tapi sampai hari ini, jaksa agung tak pernah mengajukan anggaran untuk itu, tegasnya. Menurut dia, jika tidak serius menangani kasus Soeharto, jaksa agung sebaiknya mengundurkan diri secara terhormat.

Benny K. Harman menambahkan, jaksa agung tak perlu mengeluarkan SKPP kalau Pak Harto diobati hingga sembuh. Tapi, itu belum dilaksanakan. Obati dong di rumah sakit terbaik. Kalau perlu, di luar negeri, seperti Amerika dan Belanda, tandasnya.

Jaksa agung dalam pernyataan tertulisnya mengatakan, SKPP dikeluarkan setelah kejaksaan berkonsultasi dengan tim dokter independen RS Cipto Mangunkusumo (RSCM)/FKUI yang diketuai Akmal Taher. Tim dokter (Kejagung) selalu berkoordinasi dengan tim dokter kepresidenan. Kesimpulannya, kondisi Soeharto terus memburuk. Atas dasar itulah, kami mengeluarkan SKP3, kata Arman. Menurut dia, keputusan mengeluarkan SKPP itu murni atas pertimbangan teknis hukum, tanpa mencampurkan masalah tersebut dengan masalah politik atau hal-hal lain.

Arman mengatakan, SKPP bisa dicabut kalau Soeharto kelak ternyata sembuh dari sakitnya. Penerbitan SKPP diperlukan demi kepastian hukum setelah kasus Soeharto sejak 2000 silam dibiarkan menggantung tanpa kejelasan.

Sementara itu, Ketua PN Jaksel Andi Samsan Nganro siap mengadakan persidangan gugatan praperadilan atas penerbitan SKPP kasus Soeharto. Ini kan kasus yang disoroti publik. Jadi, kami akan memprioritaskan, kata Andi di Gedung PN Jaksel kemarin.

PN Jaksel, menurut Andi, telah menerima dua berkas gugatan kasus Soeharto. Yakni, gugatan dari APHI (Asosiasi Penasihat Hukum Indonesia) dan PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia).

Berzikir, Dilatih Duduk
Memasuki hari ke-19 perawatan di Rumah Sakit Pusat Pertamina, kesehatan mantan Presiden Soeharto semakin baik. Kemarin dokter mulai melatih duduk. Saat istirahat, mulut Pak Harto sering komat-kamit mengucapkan zikir.

Kami terus melakukan fisioterapi pasif, termasuk menggerak-gerakkan telapak tangan agar aliran darahnya lancar, ujar anggota tim dokter kepresidenan dr Djoko Rahardjo dalam jumpa pers pagi kemarin.

Kadar hemoglobin Soeharto memang sempat turun dari 10,1 gram persen menjadi 8,9 gram persen. Ini disebabkan sedikit perdarahan di lambung. Karena itu, dokter akan memberikan transfusi darah lagi.

Sering mengantuknya juga mulai hilang. Mantan penguasa Orde Baru itu sekarang lebih alert (waspada).

Sehari kemarin, simpatisan Soeharto masih terus menjenguknya. Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad datang sekitar pukul 14.25. Dia didampingi Ketua Presidium ICMI Marwah Daud Ibrahim. Muka beliau masih pucat, tapi terlihat bersih. Mulutnya seperti mengucap laa ilaha illallah berulang-ulang, katanya setelah 20 menit berada di ruang Soeharto dirawat.

Saat itu, tangan Soeharto terus dielus-elus oleh putri sulungnya, Tutut. Soeharto mengenakan baju piyama putih dan diselimuti kain putih. Di luar kamar, ada seorang ustad dari Masjid At-Tien. Namun, Fadel lupa nama kiai tersebut. Dulu saya sering bertemu guru agama itu saat Ibu Tien mengadakan pengajian, jelasnya.

Marwah menambahkan, secara pribadi, dia prihatin atas kondisi Soeharto. Dia memantau perkembangannya melalui media massa. Secara pribadi pula, dirinya sudah memaafkan Soeharto. Tuhan saja menimbang antara pahala dan dosa. Kita tidak boleh melupakan banyak sekali kebaikan yang dilakukan beliau, ujar wanita berjilbab ungu itu.

Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), lanjut Marwah, akan mengumpulkan pakar-pakar hukum untuk menimbang kasus Soeharto serta meminta pertimbangan tokoh-tokoh di daerah. Kita tidak boleh hanya mendengar orang Jakarta, tuturnya.

Selain Fadel dan Marwah, the smiling general itu kemarin dikunjungi mantan ajudannya, Letjen Sjafrie Sjamsoedin, pukul 07.20. Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan itu tidak banyak berkomentar. Kondisi Bapak membaik. Saya hanya berkomunikasi dengan Mbak Tutut, ujarnya.

Tiga ketua fraksi DPR RI juga menjenguk. Mereka adalah Ketua FPPP Endin A.J. Soefihara, Ketua Fraksi Partai Demokrat Sukartono Hadi Warsito, dan Ketua FPG Andi F. Mattalatta. Mereka datang bersama Yorris Raweyai pada pukul 13.35. Kami datang sebagai pribadi, tidak mewakili institusi DPR, jelas Andi.

Malam hari, pengusaha Peter F. Gonta dan mantan Menteri Kehakiman Oetoyo Usman juga datang. Dini hari kemarin, pukul 01.30, terlihat Juan Felix Tampubolon.(agm/rdl/ano/dni/anz)

Sumber: Jawa Pos, 23 Mei 2006
----------
Massa Segel Rumah Soeharto

Bekas presiden itu mulai belajar duduk.

SOLO - Ketidakpuasan terhadap terhentinya kasus hukum Soeharto terus muncul di berbagai daerah. Di Solo, Jawa Tengah, sekitar 300 orang yang tergabung dalam Aliansi untuk Kesejahteraan Rakyat kemarin secara simbolis menyegel rumah pribadi mantan presiden itu yang terletak di kawasan Dukuh Kalitan. Sekitar 8 kilometer dari sana, tepatnya di bundaran Kartasura, Sukoharjo, unjuk rasa juga berlangsung. Adapun di Surabaya, massa menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghukum Soeharto.

Aksi penyegelan di Kalitan berawal dari unjuk rasa yang berlangsung di Taman Sriwedari. Dari sini, mereka berjalan kaki sejauh 3 kilometer ke Kalitan sambil membentang aneka poster hujatan. Satu peleton polisi dan empat anggota satuan pengamanan sudah berjaga di rumah penguasa Orde Baru itu. Tapi mereka hanya diam ketika pengunjuk rasa menyegel gerbang dengan poster yang mereka bawa.

Aksi penyegelan ini dilakukan sebagai simbol penguasaan aset Soeharto yang mereka tuding berasal dari hasil korupsi. Setelah memasang segel, massa melepas sejumlah balon ke angkasa. Pada balon-balon itu tergantung poster bertulisan antara lain Ndalem Kalitan disegel rakyat serta Adili Soeharto dan antek-anteknya. Soeharto harus diadili, meskipun in absentia, kata Damar, koordinator aksi.

Dalam orasinya, perwakilan para bekas tahanan politik menyatakan menolak memaafkan Soeharto. Enak sekali minta maaf. Dia harus diadili dan dihukum dulu, kata Wiryo Sentono, 78 tahun, salah seorang bekas tahanan politik. Sabtu lalu, Titiek, putri ketiga Soeharto, atas nama keluarga meminta agar kesalahan ayahnya dimaafkan.

Wiryo mengaku harus mendekam di bui selama 14 tahun gara-gara rezim Soeharto. Pada 1965 saya hanya simpatisan Pemuda Rakyat. Tanpa tahu salah apa, saya langsung ditahan, katanya. Akibat penahanan ini, pendidikan enam anaknya telantar. Tiga hanya lulus sekolah dasar, tiga yang lain sama sekali tidak bisa sekolah, katanya lagi.

Kisah serupa diutarakan Suparto, 75 tahun. Kalau dulu saya ditahan tanpa diadili, sekarang saya menuntut pengadilan untuk Soeharto, dia menegaskan. Bekas pejabat di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum ini menyebut, kejahatan Soeharto bukan hanya korupsi, tapi juga kejahatan kemanusiaan.

Di Surabaya, sejumlah lembaga swadaya menuntut pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghukum Soeharto. Tuntutan itu mereka gelar di depan Gedung Grahadi, Jalan Gubernur Suryo.

Jauh dari hiruk-pikuk itu, di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, Adji Suprajitno, direktur rumah sakit, kemarin menyatakan kesehatan Soeharto berangsur membaik. Indikasinya, rasa mengantuk berkurang, saluran pencernaan hampir berfungsi baik, dan fungsi ginjal kian bagus, kata Adji. Untuk memperlancar peredaran darah, Soeharto kemarin mulai menjalani fisioterapi pasif dengan berlatih menggerakkan tangan dan belajar duduk. ANAS SYAHIRUL | IMRON ROSYID | SOHIRIN | ROHMAN TAUFIK | INDRA MANENDA ROSSI

Sumber: koran tempo, 23 Mei 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan