Tim Independen MK
Hari Kamis (9/12), secara resmi Tim Independen Mahkamah Konstitusi menyampaikan hasil kerjanya kepada khalayak.
Sebagaimana diketahui, tim dibentuk untuk menindaklanjuti opini Refly Harun di harian ini dengan judul ”MK Masih Bersih?” (Kompas, 25/10) yang mengindikasikan adanya praktik suap-menyuap di MK. Tulisan itu sontak membuat Ketua MK Mahfud MD gundah gulana. Betapa tidak? Selama ini MK dianggap satu-satunya institusi kekuasaan kehakiman yang masih steril dari praktik mafia hukum.
Terlebih dalam beberapa hal, MK menunjukkan sikap pro pada barisan antikorupsi. Pertama, ketika MK menolak permohonan uji materiil terhadap UU KPK yang dimohonkan segelintir orang sebagai upaya membunuh KPK. Kedua, ketika Mahfud memerintahkan pemutaran kaset dalam sidang MK, 3 November 2009, yang menguak adanya kriminalisasi pimpinan KPK.
Orang-orang yang dipilih dalam Tim Independen MK kredibilitasnya sudah diketahui publik. Tiga dari lima anggota secara pribadi penulis kenal dan saya tak menyangsikan integritas moralnya: Saldi Isra, Bambang Widjajanto, dan Refly Harun yang kebetulan senior penulis di Fakultas Hukum UGM.
Perihal tim ini, harus dijelaskan kepada publik bahwa tugas tim bukanlah untuk membuktikan adanya suap-menyuap di MK, melainkan mengumpulkan fakta-fakta sebagai bukti permulaan adanya indikasi tersebut. Selain tak memiliki kewenangan membuktikan, salah satu sifat dan karakter hukum acara pidana adalah sifat keresmian yang berarti penyelidikan dan penyidikan terhadap suatu perkara pidana harus ditetapkan oleh UU. Apakah fakta yang dikumpulkan tim dapat jadi bukti permulaan yang relevan dan admissible adalah tugas aparat penegak hukum untuk memverifikasi lebih lanjut.
Dugaan pemerasan
Berdasarkan siaran pers, Tim Independen MK menemukan dua kasus seperti disinyalir Refly Harun dalam Opini Kompas. Kasus pertama terkait dugaan pemerasan yang dilakukan salah seorang hakim konstitusi. Kasus kedua terkait dugaan percobaan pemerasaan dan/atau percobaan penyuapan yang melibatkan salah seorang panitera pengganti dan anggota keluarga salah seorang hakim konstitusi. Dalam konteks hukum pembuktian, fakta yang demikian sudah dapat dijadikan bukti permulaan untuk melakukan penyelidikan perihal dugaan suap tersebut.
Artinya, temuan tim tak boleh berhenti sampai di sini, tetapi harus ditindaklanjuti aparat penegak hukum dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan. Penulis sangat berharap hasil temuan tim tak membuat Mahfud mundur dari jabatan Ketua MK, tetapi justru sebaliknya, memimpin langsung pembersihan institusi MK dari anasir-anasir korupsi. Mahfud—yang penulis kenal secara pribadi—tak diragukan lagi integritas, kapabilitas, dan intelektualitasnya dapat saja membawa oknum—termasuk hakim konstitusi—yang terlibat suap-menyuap ke depan Majelis Kehormatan Hakim sembari menyerahkan hasil temuan tim ke aparat penegak hukum untuk diusut tuntas. Bila hasil temuan tim setelah dilakukan investigasi lebih lanjut oleh aparat penegak hukum ternyata tak terdapat cukup bukti, pertanyaan lebih lanjut, dapatkah Refly Harun dituntut karena telah melakukan pencemaran nama baik?
Dalam konteks hukum pidana, ada tiga catatan penting terkait delik pencemaran nama baik. Pertama, delik tersebut bersifat subyektif. Artinya, penilaian terhadap pencemaran nama baik sangat tergantung orang atau pihak yang diserang nama baiknya. Karena itu, pencemaran nama baik merupakan delik aduan yang hanya bisa diproses oleh polisi jika ada pengaduan dari orang yang nama baiknya dicemarkan.
Kedua, substansi kata-kata atau pernyataan yang bersifat menghina menunjukkan niat jahat pelaku untuk mencemarkan nama baik seseorang. Ketiga, pencemaran nama baik merupakan delik penyebaran yang berarti bahwa substansi yang berisi pencemaran harus disebarluaskan kepada umum atau dilakukan di depan umum oleh si pelaku. Bila opini yang ditulis Refly dikaitkan dengan delik pencemaran nama baik, ada beberapa hal yang penting diulas. Pertama, tulisan Refly relevan dengan temuan tim yang dapat dijadikan bukti permulaan. Kedua, Refly tak pernah menyebutkan siapa oknum hakim dimaksud sehingga unsur subyektivitas yang diserang sebagaimana disyaratkan dalam delik pencemaran nama baik tak terpenuhi.
Ketiga, apa yang ditulis Refly adalah berdasarkan fakta yang dialaminya yang kemudian menimbulkan praduga adanya indikasi suap-menyuap. Dalam hukum pidana, praduga dibolehkan, yang tak dibolehkan adalah menuduh tanpa bukti. Keempat, substansi tulisan Refly tak menunjukkan adanya niat jahat menyerang nama baik para hakim MK, tapi lebih pada early warning agar MK lebih mawas diri dari praktik mafia hukum dengan tujuan menjaga kehormatan dan martabat institusi tersebut.
Dengan demikian, dolus malus (niat jahat) Refly untuk mencemarkan nama baik tak terpenuhi sehingga terlalu sumir jika hasil tim yang ditindaklanjuti aparat hukum tak dapat membuktikan suap-menyuap, lalu Refly diseret ke pengadilan dengan pasal pencemaran nama baik.
Eddy OS Hiariej Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM
Tulisan ini disalin dari Kompas, 10 Desember 2010