Tim Etik Rekomendasikan LPSK untuk Nonaktifkan Ketut dan Myra

Tim etik Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyelesaikan tugas untuk memeriksa dua komisioner, I Ketut Sudiharsa dan Myra Diarsi. Hasilnya, tim etik merekomendasikan kepada LPSK untuk menonaktifkan Ketut dan Myra karena melanggar kode etik terkait dengan perlindungan korban.

''Rekomendasi tim etik adalah pemberhentian Ketut dan Myra secara administratif,'' kata Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR kemarin (3/2).

Tim etik LPSK terdiri atas lima personel. Tiga di antaranya berasal dari kalangan eksternal LPSK. Yakni, Prof Harkristusi Harkrisnowo (pakar hukum pidana UI), Abdul Hakim Garuda Nusantara (mantan ketua Komnas HAM), dan Prof Adrianus Meliala (kriminolog UI). Sementara itu, anggota tim etik dari internal LPSK adalah Teguh Soedarsono dan Sindhu Krisno.

Berdasar hasil pemeriksaan, tim etik menyatakan perbuatan Ketut dan Myra termasuk perbuatan tercela sesuai pasal 24 huruf e UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Keduanya telah merusak kredibilitas serta reputasi LPSK terkait perlindungan terhadap Anggoro Widjojo, saksi yang diduga kuat melakukan suap. Selain itu, keduanya melanggar pasal 4 huruf e Perpres No 30 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota LPSK.

Menurut Haris, proses rekomendasi pemberhentian segera dilangsungkan dalam sidang paripurna LPSK. Menurut dia, proses rekomendasi itu paling lama keluar dalam 30 hari atau awal Maret. ''Isi surat hanya usul diberhentikan. Sebab, yang berhak memberhentikan adalah presiden,'' jelasnya.

Selain melaporkan hasil kerja tim etik, LPSK menyampaikan hasil kerja selama dua tahun didirikan. Total ada 84 permohonan yang masuk di LPSK. Laporan perlindungan saksi terkait kasus korupsi merupakan yang terbanyak, yakni 18 kasus. Jumlah saksi yang ditangani baru empat kasus. ''Dua saksi dilindungi terkait kasus korupsi, satu pembunuhan, dan satu kasus salah tembak,'' ujar Haris. (bay/dwi)

Sumber: Jawa Pos, 4 Februari 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan