Tim Ahli Kaji Pemberian SP3 TAC Pertamina
Kerugian muncul akibat pemutusan kontrak kerja sama.
Tim ahli Kejaksaan Agung akan mengkaji kembali pemberian surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus dugaan korupsi kerja sama kontrak antara Pertamina dan PT Ustraindo Petrogas. Kami sedang mengumpulkan bahan-bahannya, kata Iskandar Sonhaji, anggota tim ahli, di Jakarta, Ahad (10/7).
Tim ahli ini beranggotakan tujuh orang yang terdiri dari pakar hukum pidana, aktivis lembaga swadaya masyarakat, dan para akademisi. Mereka diminta mengkaji kembali sejumlah data dan fakta dalam kasus kerja sama kontrak (technical assistance contract/TAC) yang diduga merugikan negara sebesar US$ 24,8 juta itu. SP3 kasus ini dikeluarkan Kejaksaan Agung pada 12 Oktober 2004.
Tim yang dibentuk Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh ini juga untuk memberi pendapat bandingan. Mereka dipimpin pakar hukum pidana Harkristuti Harkrisnowo dan akan disahkan 22 Juli nanti. Keanggotaan tim murni, tidak ada pihak militer maupun mantan jaksa, ujar Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung Soehandoyo.
Tim ini mengkaji dan mempelajari berbagai data dan permasalahan yang berkaitan dengan kasus tersebut. Dalam melaksanakan pembahasan, kata Soehandoyo, mereka di bawah komando Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Hendarman Supandji.
Pengkajian ulang pemberian SP3 ini juga dilakukan ICW. Ada kekeliruan dalam kontrak kerja sama itu, kata Koordinator Informasi Publik ICW Adnan Topan Husodo. Kerja sama ini, menurut Adnan, lewat penunjukan dan tidak melalui tender.
Kasus ini bermula dari kerja sama kontrak antara Pertamina dan PT Ustraindo untuk mengoperasikan ladang minyak Bunyu, Prabumulih, Pendopo, dan Jatibarang. Kontrak ini diputus di tengah jalan karena PT Ustraindo tidak mampu memenuhi peningkatan target produksi. Pemutusan kontrak atas instruksi Ginandjar Kartasasmita, Menteri Pertambangan dan Energi saat itu, justru mengakibatkan kerugian pada negara.
Kerugian bukan karena hilangnya ladang minyak, tapi juga alat-alat produksi negara, kata Adnan. Pertamina, kata Adnan, juga menyerahkan 1.000 karyawannya kepada Ustraindo untuk dipekerjakan.
Temuan ini juga dikuatkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Badan ini menemukan bahwa kegiatan produksi dan operasional lapangan Ustraindo masih dibantu Pertamina secara penuh. Bahkan Pertamina beberapa kali harus menalangi pembayaran gaji karyawan dan tenaga kerja Ustraindo.
Kebijakan itu membuat Pertamina mengalami kesulitan keuangan. Ladang minyak mengering karena kurang perawatan. Pengeboran sumur baru dan kerja ulang pindah lapisan tidak terealisasi karena terbentur dana. Sejumlah peralatan tidak terawat dan produksi jadi menurun.
Ginandjar Kartasasmita membantah jika kontrak kerja sama itu merugikan negara. Ia mengatakan, kontrak sudah berjalan sesuai dengan isinya. Meskipun ditambah biaya depresiasi (penyusutan aset) dan deplesi (penyusutan cadangan), negara dan Pertamina masih diuntungkan, katanya. Dia mempersilakan pengkajian ulang pemberian SP3 kasus tersebut.
Penyidikan kasus ini sebenarnya pernah dilakukan tim koneksitas karena Ginandjar purnawirawan Angkatan Laut. Wakil Komandan Pusat Polisi Militer Brigjen TNI Hendarji mengakui penyidikan waktu itu belum maksimal. Ada sisi lain yang belum dilakukan penyidik, katanya. Kini pihaknya menyatakan siap membantu. EDY CAN
Sumber: Koran Tempo, 12 Juli 2005