Tikus Juga Doyan Uang
Melihat banyak orang terpandang tergoda uang, kita teringat Ivan Illich. Buat apa sekolah kalau hanya untuk mengejar uang! Namun sekolah sudah salah arah. Sekarang sekolah lebih banyak menelurkan generasi mesin pencetak uang. Enaknya uang sudah mirip candu dirasakan sejak anak masih di sekolah.
Maka tak habis-habis uang dikejar. Padahal, riset membuktikan uang telah gagal mengatrol kebahagiaan. Studi sejak tahun 1950-an mengungkapkan, kebahagiaan tidak bertambah dengan uang yang bertambah. Tak ada batas tertinggi berapa kecukupan itu. Sayang banyak orang lupa, tidak semua bisa dibeli dengan uang.
Banyak bukti uang berlebihan bikin hidup tak lagi seimbang. Semakin banyak orang di dunia kena penyakit hidup tak bermakna (neurosis noogenic). Banyak uang tapi hidup kehilangan arah. Dimabuk uang bikin hidup jadi limbung. Bertambah runyam lagi jiwa kalau uang yang berlimpah diambil diam-diam dari laci negara dan keringat rakyat.
Barangkali itu betul hidup perlu perencanaan. Hidup diatur kapan waktunya minggir, kata Robert Kiyosaki. Waktu muda kita bekerja untuk uang. Arifnya, jauh hari sebelum pensiun, biar uang bekerja buat kita dan kita nikmati hidup.
Dunia sekarang telah mengajak orang memilih hidup posesif. Konon itu menjadi sebab secara spiritual orang menjadi ortodoks, secara intelektual jadi hedonis, secara emosional jadi narcisis, dan secara biologis jadi sangat takut mati. Mereka inilah yang berisiko merasa hidup tak bermakna.
Ketika semerbak hedonisme dan konsumtivisme bikin orang kepayang, kecanduan uang acap merongrong moral dan menggoyahkan iman. Hidup diajak menghalalkan cara. Otak gelisah kalau tidak berbuat serong, dan mata semakin hijau kalau melihat duit.
KATA nenek, uang itu alat, bukan tujuan. Tapi, tujuan dalam hidup posesif sering tak kunjung berujung. Kalau tujuan lebih besar pasak daripada tiang, orang bisa lupa Tuhan. Kendati setiap Minggu dan Jumat jalan-jalan tak kurang- kurang macetnya, namun nyatanya korupsi tetap marak.
Dalam menempuh tujuan yang tak kunjung berujung, otak berisiko tercemar machiavellisme. Dan itu terjadi kalau iman lumpuh dan moral tak bekerja. Pada level orang baru tidak serong kalau diawasi, orang akan meraup uang dengan cara tak halal.
Kita melihat korupsi kian merajalela tak terbendung. Bisa jadi lantaran lorong menuju cara tak halal itu dibiarkan menganga dan tidak semua orang tergolong pejuang kehidupan. Lebih banyak orang yang iman dan moralnya tak naik kelas.
Deng Xiao Ping pernah bilang, Dengan sistem, orang paling jahat pun tak akan berbuat jahat. Tapi tanpa sistem, orang baik bisa berbuat tidak baik, bahkan menjadi jahat. Maka dengan membangun sistem yang tepat, dan hukum bukan lagi macan kertas, mungkin orang berpikir ulang untuk berubah menjadi tikus.
Kendati betul ada jenis tikus demi mencukupi ongkos dapur, ada pula tikus yang kepingin supaya menjadi lebih kaya, dua-duanya tak patut mendapat maaf. Dosa mengutil uang seperak sama urusannya dengan Tuhan dibanding dosa disogok uang sekoper. Kata agama, uang juga tidak bisa membawa kita ke surga.
Maka ketika dipermalukan di depan umum sudah tak mempan, dan rasa takut akan Tuhan sudah sirna, tampaknya semakin banyak orang bercita-cita menjadi tikus. Untuk mengurangi angka orang menjadi tikus itulah di China sekarang setiap hari rata-rata sepuluh koruptor dihukum mati. Dan betul, korupsi pun kian ciut.
Dalam memberantas tikus doyan duit, hukum tak cukup ditambah gigi, tapi harus punya efek jera juga. Karena mereka yang menjadi tikus umumnya takut mati, hukuman mati dianggap obat paling cespleng. Sayang selama ini kita mengobati kanker korupsi cuma dengan salep panu.
KATA para cendekia, agar negara bersih dari tikus berkepala hitam, masyarakat perlu membangun pilihan hidup bermakna. Hidup yang secara spiritual, intelektual, emosional, dan biologis yang serasi.
Selain itu, sekolah perlu reorientasi kepada tujuan yang bersifat moral, bukan menjadi tempat memperoleh bekal mengais uang.
Pada level masyarakat ada norma enggan berbuat serong kendati tidak diawasi, karena rasa takut akan Tuhan. Dengan ini rasanya orang tidak bakal rela menjadi tikus. Di level itu masyarakat juga belajar tidak rakus, dan menjadi arif tidak lagi mata keranjang setiap melihat uang di kantong orang.(Handrawan Nadesul Seorang Dokter)
Tulisan ini diambil dari Kompas, 13 April 2005