Tiga Lembaga Samakan Persepsi Soal Kerugian Negara
Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) kemarin menandatangani nota kesepahaman dalam menangani berbagai kasus penyimpangan pengelolaan keuangan negara yang berindikasi pada tindak pidana korupsi, termasuk dana nonbujeter. Ketiga lembaga negara itu juga menyamakan persepsi atas timbulnya suatu kerugian negara dalam dugaan tindak pidana korupsi.
Nota kesepahaman ini ditandatangani Jaksa Agung Hendarman Supandji, Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutanto, dan Ketua BPKP Didi Widayadi. Penandatanganan nota kesepahaman dilakukan di kantor Wakil Presiden dan disaksikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Kami berharap dengan kesepakatan ini tidak akan terjadi lagi bolak-balik perkara yang ditangani oleh penyidik maupun penuntut umum untuk diajukan ke persidangan, kata Hendarman kepada wartawan seusai penandatanganan di kantor Wakil Presiden kemarin.
Menurut Hendarman, nota kesepahaman ini berlaku untuk semua kasus, baik kasus lama maupun kasus baru. Yang penting tidak kedaluwarsa. (Kasus) yang lama pun bisa, sebelum 15 atau 18 tahun, kata Hendarman.
Hendarman menjelaskan, dengan kesepakatan antara penegak hukum dan auditor ini, kepolisian atau kejaksaan akan melakukan gelar perkara bersama BPKP jika ada laporan masyarakat yang menimbulkan kerugian negara.
Ketiga institusi ini akan menentukan apakah kerugian negara yang timbul merupakan akibat dari perbuatan melawan hukum. Kadang-kadang di lapangan itu ada suatu persepsi yang berbeda, kata Hendarman. Selama ini BPKP melihat adanya kerugian negara dari suatu kasus.
Dalam kesempatan berbeda, Kalla menegaskan nota kesepahaman ini dibuat bukan karena selama ini tidak ada kesepahaman. Menurut Kalla, dalam tiga tahun terakhir, anggaran negara naik dari Rp 400 triliun menjadi Rp 756 triliun.
Indonesia, kata Kalla, banyak diragukan dapat menangani kasus korupsi dengan baik. Padahal sebenarnya, Kalla melanjutkan, di antara negara-negara di dunia, khususnya Asia, Indonesia adalah negara yang paling banyak memeriksa dan menangkap menteri, bekas menteri, gubernur, Ketua DPR, polisi, dan jaksa. FANNY FEBIANA | SUTARTO
Sumber: Koran Tempo, 29 September 2007