Tidak Lapor LHKPN, Catatan Merah DPR

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menjadi sorotan. Kali ini disebabkan ketidakpatuhan mereka terhadap aturan. Setidaknya 36% anggota DPR belum menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Padahal, pelaporan tersebut merupakan kewajiban setiap penyelenggara negara, termasuk anggota dewan, sesuai pasal 5 ayat 3 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

Sikap tersebut tidak hanya melanggar UU Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, tetapi juga menghambat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menjalankan upaya pencegahan tindak pidana korupsi. Dalam pasal 13 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK disebutkan bahwa KPK melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap LHKPN sebagai langkah atau upaya pencegahan. Ironi, disaat DPR terus mempertanyakan upaya pencegahan oleh KPK, justru DPR sendiri yang menjadi penghambat upaya tersebut.

Selama ini DPR masih lekat dengan perilaku korup. Puluhan wakil rakyat tersebut berurusan dengan aparat penegak hukum karena tejerat kasus korupsi. Bahkan, lima orang anggota DPR periode 2014-2019 telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh KPK. Sejatinya pelaporan LHKPN oleh anggota dewan dapat menjadi pintu awal bagi DPR untuk menjadi lembaga yang lebih bersih. Sebab, dengan pelaporan LHKPN ini KPK bisa melacak dan menilai kewajaran pertambahan harta kekayaan para penyelenggara negara. 

Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia Parliamentary Center (IPC), dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai, terdapat empat hal yang melatarbelakangi persoalan ini.

Pertama, rendahnya komitmen anggota dewan untuk menjadi penyelenggara negara yang jujur dan transparan. Pelaporan LHKPN dapat dikatakan merupakan wujud awal komitmen menjadi penyelenggara negara yang bersih, jujur, dan terbuka terhadap pegawasan KPK serta publik. Persoalan ini membuat komitmen dewan menjadi penyelenggara negara yang bersih semakin dipertanyakan. Tidak heran apabila sinisme publik terhadap DPR menguat, hingga berujung pada tingkat kepercayaan yang rendah.

Kedua, tidak bekerjanya partai politik dalam mengawasi kadernya di DPR. Anggota DPR adalah kader partai. Mereka dicalonkan oleh partai politik pada pemilu legislatif. Sudah seharusnya, partai politik mengawasi dan memastikan kadernya patuh terhadap UU dan menjadi penyelenggara negara yang bersih serta transparan. Dalam data dibawah ini terlihat, tidak ada satu pun partai politik yang seluruh kadernya telah melaporkan LHKPN.

Ketiga, lemahnya sanksi apabila kewajiban melapor LHKPN dilanggar. Perlu diatur sanksi yang dapat memaksa hingga membuat penyelenggara negara jera tidak melapor LHKPN, seperti pengumuman nama yang bersangkutan kepada publik, penundaan pemberian tunjangan/ gaji, penundaan naik jabatan, larangan menduduki jabatan strategis/ pimpinan, denda, hingga pencopotan dari jabatan. Sanksi yang dimaksud tidak hanya bagi yang tidak melaporkan, tetapi juga bagi yang tidak melapor secara lengkap dan jujur.

Keempat, tidak terintegrasinya kewajiban melapor LHKPN dengan UU terkait lainnya, seperti UU Pemilu Legislatif. Pada pasal 5 UU Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, LHKPN tidak hanya wajib dilaporkan setelah penyelenggara negara yang bersangkutan menjabat tetapi juga sebelum menjabat. Seharusnya, melaporkan LHKPN juga dimasukkan sebagai syarat pencalonan calon legislatif oleh partai pada saat pemilu.

Simpulan dan Rekomendasi :

Sebagai institusi representasi rakyat dalam penyelenggaraan negara, DPR sudah sepatutnya melakukan pembenahan. Melaporkan LHKPN sebagai wujud kepatuhan terhadap UU dan terbuka pada pengawasan KPK serta publik adalah hal dasar yang perlu segera dilakukan. Pengumuman KPK mengenai masih banyaknya anggota dewan yang belum melaporkan LHKPN ini patut dianggap sebagai rapor merah DPR dan tidak boleh terulang. Oleh karena itu, atas persoalan ini kami merekomendasikan :

  1. Anggota DPR dan seluruh penyelenggara negara lainnya segera melaporkan dan melengkapi pelaporan LHKPN dengan sebenar-benarnya.

  2. KPK segera mempublikasikan nama penyelenggara negara yang tidak melaporkan LHKPN. Khusus mengenai anggota DPR, informasi ini merupakan informasi yang penting bagi publik, terutama konstituen, melakukan evaluasi terhadap anggota DPR bersangkutan.

  3. KPK melakukan verifikasi dan tindak lanjut atas laporan LHKPN.

  4. Pemerintah menerbitkan dua regulasi agar persoalan ini tidak berulang dan pelaporan LHKPN lebih efektif. Regulasi tersebut yaitu:

    1. Peraturan Pemerintah yang mengatur:

      1. Batas waktu melaporkan dan melengkapi LHKPN;

      2. Sanksi bagi penyelenggara negara yang terlambat melaporkan atau melengkapi LHKPN, tidak melaporkan LHKPN, dan/ atau melaporkan LHKPN namun tidak secara benar dan jujur.

    2. Bersama DPR segera membahas RUU Perampasan Aset yang didalamnya menjadikan LHKPN sebagai instrumen untuk merampas aset-aset penyelenggara negara yang tidak dilaporkan dalam LHKPN.

  5. Partai turut aktif mendorong kadernya melapor LHKPN dan memberikan sanksi bagi kadernya yang melanggar.

 

Jakarta, 23 Maret 2016

Indonesia Corruption Watch (ICW) – Indonesia Parliamentary Center (IPC) – Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan