Teten Beternak Kambing di Kampung

TETEN Masduki memiliki nama besar di dunia pemberantasan korupsi di Indonesia. Dia adalah salah seorang aktor lahirnya LSM antikorupsi, Indonesia Corruption Watch (ICW), jauh sebelum ada KPK. Selama menjabat koordinator lembaga itu, dia sangat disegani para koruptor.

Kini suami Suzana Ramadhani itu telah menyerahkan tampuk pimpinan ICW kepada para juniornya. Teten sendiri memilih berkiprah di Transparency International Indonesia (TII), sebagai Sekjen. "Sekarang waktunya yang muda-muda tampil," katanya.

Teten adalah anak seorang petani. Ayah­nya Masduki dan ibunya Ena Hindasyah. Dia dibesarkan dalam kesederhanaan hidup di Limbangan, Garut, Jawa Barat. Pendidikan SD sampai SMA berjalan apa adanya, tanpa perhatian khusus dari kedua orang tua.

Semula dia bercita-cita menjadi insinyur pertanian. Namun, dia kuliah di Jurusan Kimia, IKIP Bandung. Karena itu, dia juga tidak mengharapkan kekayaan dari aktivitas yang dijalani saat ini. Sebab, lembaga seperti ICW dan TII bukanlah lumbung uang.

Teten juga mulai mengurangi publikasi. Beberapa tahun terakhir dia sudah jarang tampil di media. Teten justru sangat mendukung junior-juniornya di ICW, seperti Emerson Yuntho, Danang Widoyoko, Abdullah Dahlan, atau Febridiansyah. "Bang Teten ibarat api bagi kami. Beliau selalu menyokong kami dan memberi ide-ide segar," kata Abdullah Dahlan, aktivis ICW.

Itulah Teten. Penampilannya sederhana dan apa adanya, sebagaimana ke­banyakan aktivis yang getol membela kepentingan banyak orang. Kehidupan sehari-harinya juga tak bergelimang harta. Di Garut, tempat kela­hirannya, dia memiliki ternak kambing. Para juniornya di ICW pernah diajak ke sana untuk melihat ter­naknya itu. "Ternyata, Bang Teten ju­ga hobi beternak kambing. Mungkin itu memang sisi lain beliau yang unik," kata Abdullah. (rdl/nw)

----------------
Sisi Lain Para Aktivis Pembela Kaum Lemah
Jadi Direktur Bergaji Rp 1 Juta

Mereka ini dikenal sebagai aktivis pembela kaum lemah. Mulai membela keluarga orang hilang, hingga membela nasib buruh di luar negeri. Mereka lebih mementingkan apa yang dilakukan, ketimbang apa yang diperoleh.

SALAH seorang aktivis itu adalah Asfinawati, atau biasa disapa Asfin. Namanya mencuat ketika terjadi bentrok antara massa Aliansi Kebangsaan, Kebebasan Beragama, dan Berkeyakinan (AKKBB) dengan Front Pembela Islam (FPI) saat hari Pancasila 1 Juni di Monas 2008. Dalam kasus tersebut, Asfin menjadi kuasa hukum AKKBB. Sejak saat itu lah, kiprahnya mulai dikenal lebih luas.

Asfin memang all out dalam mendampingi mereka yang beperkara dengan hokum.

Terutama orang-orang yang menjadi korban dalam kasus-kasus publik. Mulai PHK buruh hingga persoalan kebebasan beragama. Menggunakan jasa Asfin tidak mahal. Malah gratis alias pro­deo. ''Kalau yang kita dam­pingi orang-orang tidak mampu, justru tekor. Duit transpor dari kan­tong sendiri,'' kata wanita yang menjabat sebagai Direktur LBH Ja­karta mulai 2006-2009 ini.

LBH Jakarta memang mengharamkan para aktivisnya menarik duit dari jasa menjadi penga­cara untuk klien-klien. Mereka murni melakukan untuk membantu orang-orang yang sering menjadi korban mafia per­adilan. Sebagai penyambung hidup, para aktivis itu digaji LBH. Tapi, jumlahnya tak sebe­rapa. Bahkan, Asfin yang direktur sa­ja digaji sekitar Rp 1 juta.

Pada masa awal aktif di LBH, Asfin punya side job selain menjadi pengacara. Dia memberikan les piano di sebuah tempat kursus mu­sik. Gajinya termasuk tinggi. Honor mengajar sehari sama de­ngan gaji seminggu di LBH. Jadi, kalau seminggu penuh dia memberikan les piano, gaji di LBH itu tidak ada apa-apanya. ''Tak perlu saya sebutkan ah nominalnya. Nanti nggak etis,'' ujarnya.

Namun, aktivitas Asfin di LBH semakin menyita waktunya. Ter­kadang, rapat berlangsung hingga malam. Akibatnya, tak ada lagi waktu untuk memberikan les piano. Wanita kelahiran Jakarta itu lebih memilih menjadi pengacara gratisan daripada memberikan les yang sebenarnya lebih menggiurkan secara finansial itu. ''Di LBH saya bertemu dengan banyak orang. Itu memberikan banyak pelajaran kepada saya daripada hanya mengajar,'' katanya.

Sembilan tahun di LBH tak membuat Asfin kaya. Hingga sekarang, dia masih hidup dari satu rumah kos ke kos lainnya. Tak ada mobil ataupun motor pribadi. Dia lebih suka naik angkutan umum daripada membeli kendaraan. Sebagai wanita, dia pun tak neka-neka. Tidak ada gaun-gaun bermerek dan pernik-pernik yang menjadi koleksi wanita berkacamata itu. Asfin memang bukan wanita pesolek.

Bahkan, karena kebiasaan tak pernah dandan, Asfin sering dipanggil ''Mas''. Kesan maskulin lebih kental terlihat pada anak ketiga di antara lima bersaudara itu. ''Saya kalau ke toilet cewek malah diusir,'' ujarnya, lantas terbahak.

Tapi, bukan berarti Asfin ''kere''. Karena bukan orang yang gemar berbelanja, Asfin menjadi punya tabungan yang lumayan. Jumlahnya bisa menjadi pegangan kalau kebetulan tidak ada order. Berapa jumlahnya? ''Jangan ah. Nanti kalau saya sebutkan bisa dirampok di jalan dong,'' katanya, kemudian tertawa.

Kini dia sedang serius menyelesaikan buku mengenai kasus hukum di Indonesia. Buku itu masih dalam proses mengumpulkan bahan dan data. Karena itu, dia memilih rehat dari aktivitas di LBH demi merampungkan bukunya itu. (aga/kum)

Sumber: Jawa Pos, 19 Oktober 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan