Terus Obral Remisi, Pemerintah Kehilangan Komitmen Berantas Korupsi

Pemerintah harus mencabut niatnya untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) 99/2012. Pasalnya jika obral remisi tetap dilakukan maka pemerintah tidak lagi memiliki komitmen dan kemauan untuk membersihkan Indonesia dari koruptor.

Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan pemerintah sama saja tidak memiliki komitmen dalam pemberantasan korupsi. Padahal upaya pemberantasan korupsi telah dibangun sejak pasca reformasi dengan mengeluarkan banyaknya regulasi seperti UU korupsi, UU pembatasan tindak pidana pencucian uang, dan UU perlindungan saksi.

"Padahal negara telah menempatkan korupsi sebagai extra ordinary crime. Adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang ‘bersih-bersih’ uang haram dari rekening pejabat negara sesungguhnya bukti komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi,” kata Fickar dalam konferensi pers di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait remisi untuk koruptor, Senin (6/4/2015).

Pemerintah seyogyanya tidak hanya melihat kerugian negara akibat korupsi. Lebih dari itu, korupsi yang dilakukan secara struktural mengakibatkan kemiskinan jangka panjang dan ketertinggalan bangsa.

Oleh karenanya, MenkumHAM dalam mengambil keputusan harus berpegang pada asas legalitas dan asas yuriditas. Dalam hal ini, seorang menteri saat mengeluarkan kebijakan pasti memiliki kewenangan. Namun, asas yuriditas juga harus diperhatikan karena kebijakan yang dikeluarkan tidak boleh melanggar hukum dan UU lainnya.

"Jika dua hal ini diperhatkan pasti akan tercipta tatanan pemerintahan yang baik dan kebaikan itu dilihat dari kebijakan yang dikeluarkannya," tegasnya.

Sementara itu Staf Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Lalola Easter, mengatakan bukan hanya membatalkan revisi PP 99/2012 tetapi MenkumHAM juga harus mencabut Surat Edaran (SE) MenkumHAM tahun 2013. PP 99/2012 ini telah tepat mengatur secara profesional pemberian remisi bagi terpidana korupsi.

Dari catatan ICW sebelumnya, bahwasanya PP 99/2012 tidak mencabut hak remisi narapidana korupsi, tetapi hanya membatasi dan memperketat pemberiannya. Selain itu dalam salah satu putusannya, Mahkamah Agung (MA) memberikan pendapat dalam gugatan judisial review terhadap PP 99/2012, bahwa ketentuan PP 99/2012 tidak melanggar hak asasi manusia (HAM).

"MA menegaskan bahwa perbedaan perilaku terhadap pelaku kejahatan korupsi dengan kejahatan luar biasa adalah konsekuensi dari perbedaan derajat antara kejahatan luar biasa dan kejahatan biasa. Oleh karena itu, kami (MA) menolak pemberian remisi bagi terpidana," tegas Lola.

Ketua Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar, mengatakan akibat korupsi terjadi keterlambatan pembangunan dari segi ekonomi dan infrastruktur. Oleh karenanya, bahaya yang terjadi bukan hanya dari fisik (pembangunan) melainkan kerusakan mentalitas dan moral.

"Pemerintah kurang terbangun kesadaran kolektif untuk melawan korupsi, tetapi malah sudah mengusulkan untuk merevisi PP 99/2012 yang telah baik tujuannya," ujar Dahnil.

Dia menegaskan, sudah sepantasnya pemerintah (MenkumHAM) melihat perspektif korban dalam syarat pemberian remisi yang diringankan, bukan perspektif pelaku. Tidak kompaknya antara MenkumHAM dengan pemerintahanan Joko Widodo (Jokowi) menunjukan bahwa Presiden Jokowi telah kehilangan kepemimpinannya.

"Ini tidak sejalan dengan Nawacita yang dijanjikan Jokowi pada awal kepemimpinannya. Idealnya memang tidak ada kompromi agar pemberantasan korupsi dapat terus dilakukan," ucap Dahnil.

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan