Terkait Pencairan Uang Tommy; Presiden Sebaiknya Berhentikan Yusril dan Hamid
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta memberhentikan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra dan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin, terkait kasus penggunaan rekening Departemen Hukum dan HAM untuk menerima transfer uang Tommy Soeharto sebesar Rp 90 miliar dari Banque Nationale de Paris et de Paribas (BNP Paribas) cabang London.
Hal itu perlu dilakukan untuk memudahkan aparat penegak hukum memeriksa mereka. Kalau tidak, justru menyulitkan aparat pe- negak hukum, karena ke- sibukan mereka sebagai menteri.
Tindakan dua menteri itu mencairkan uang Tommy, jelas-jelas melanggar hukum. Oleh karena itu, mereka harus dihadapkan ke muka hukum, kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Patra M Zen dalam diskusi dengan tema, Skandal Pencairan Uang Tommy Soeharto dari Perspektif Advokat, di Jakarta, Senin (23/4).
Tampil sebagai pembicara lain dalam diskusi yang diselenggarakan YLBHI, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), dan Indonesia Corruption Watch (ICW) itu adalah anggota Komisi III DPR, Gayus Lumbuun, Sekjen Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Harry Ponto dan Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti.
Sebagaimana diberitakan, uang Tommy Soeharto sebesar Rp 90 miliar atau US$ 10 juta yang disimpan di BNP Paribas cabang London sudah ditransfer melalui rekening Direktorat Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Perundang-undangan, yang dipinjamkan Yusril Ihza Mahendra, mantan penulis pidato Soeharto (di kala masih menjadi presiden), dan diurus kantor pengacara miliknya Ihza & Ihza. Pada Februari 2005, uang tersebut mengalir ke rekening negara (rekening Dirjen Administrasi Hukum Umum) ketika itu Departemen Hukum dan HAM yang dipimpin Hamid Awaludin.
Rekening Dirjen Administrasi Hukum Umum digunakan sebagai tempat penampung sementara uang Tommy senilai Rp 90 miliar yang telah berhasil dicairkan BNP Paribas London. Dari rekening itu, Tommy Soeharto menarik dananya (SP, 18/4).
Senada dengan Patra, Gayus mengatakan, Presiden adalah sentral dari administrasi negara. Oleh karena itu, kata dia, Presiden segera memerintahkan Kejagung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) agar mereka berkoordinasi mengusut kasus pencairan dana Tommy tersebut.
Sampai saat ini saya lihat Presiden, Kejagung, KPK dan PPATK diam saja. Mengapa diam ? ujar politisi dari PDI P itu.
Gayus mengatakan, tindakan Yusril membuka rekening untuk mencairkan uang Tommy melanggar sejumlah UU, antara lain, UU 17 2003 tentang Keuangan Negara, UU 15 / 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai diubah dengan UU No 25 / 2003 dan UU 18/2003 tentang Advokat.
Interpelasi
Sementara Bivitri mendesak DPR, agar lebih baik melakukan interpelasi kasus pencairan dana Tommy Soeharto oleh Yusril dan Hamid, dari pada interpelasi soal Iran. Dua menteri ini patut diduga melakukan tindak pidana pencucian uang dan suap. Kok DPR diam saja ? kata dia.
Menanggapi pernyataan Bivitri, Gayus mengatakan, sebelum melakukan interpelasi, Komisi III dan II DPR akan menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) untuk menggali pendapat sebanyak-banyaknya terkait pencairan uang Tommy melalui rekening Departemen Hukum dan Ham. RDPU akan kami gelar bersama mitra kerja untuk memperoleh kejelasan, kata Gayus.
Menurut Gayus, RDPU yang akan digelar sete- lah masa reses DPR habis adalah langkah penting karena masalah pencairan uang Tommy sudah mencapai tingkat yang cukup memprihatinkan.
Sedangkan Harry Ponto mengatakan, Peradi akan segera mengumpulkan keterangan tentang kemungkinan pelanggaran kode etik advokat oleh Kantor Hukum Ihza and Ihza, kantor advokat yang mengurus pencairan uang Tommy Soeharto dari Bank Paribas, London. Peradi sudah mengagendakan untuk meminta keterangan pada advokat di Ihza and Ihza, kata dia. Pemeriksaan itu, kata Ponto, terkait dengan penggunaan nama Yusril dalam nama kantor hukum tersebut.
Penggunaan nama orang yang bukan advokat pada sebuah kantor advokat, kata Harry, adalah sebuah bentuk pelanggaran kode etik advokat, terutama pasal 3 ayat (1). Menurut Harry, apabila Dewan Kehormatan Peradi benar-benar menemukan pelanggaran kode etik, maka sejumlah advokat yang tergabung dalam kantor hukum Ihza and Ihza dapat dikenai hukuman.
Hukuman yang dimaksud Harry bervariasi, mulai dari tingkat kesalahan yang dilakukan, mulai dari teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara selama tiga hingga 12 bulan, serta pemberhentian sementara berupa pencabutan izin advokat. [E-8]
Sumber: Suara Pembaruan, 24 April 2007