Terjadi Kriminalisasi Fungsi Administrasi; Ryaas: Kebijaksanaan Tidak Dapat Diadili

Otonomi daerah (otda) semakin tidak jelas. DPRD yang seharusnya menjadi benteng terakhir otonomi daerah telah menjadi bagian (subordinasi) pemerintah daerah. Karena itu, DPRD yang harusnya menjadi alat kontrol pemerintahan di daerah justru berada di bawah kendali kepala daerah.

Ini diungkapkan Ryaas Rasyid, bidan otonomi daerah, dalam Seminar Nasional bertema Aspek Yuridis Pengelolaan Keuangan Negara dalam Rangka Otonomi Daerah di Fakultas Hukum Unair kemarin. Seminar itu juga menghadirkan narasumber Sekdaprov Jatim Soekarwo dan dosen FH Unair Soehirman Djamal.

Menurut Ryaas, UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah menempatkan DPRD sebagai bagian pemerintah daerah. Padahal, dalam UU 22/1999, DPRD dipisahkan sebagai bagian dari pemerintah daerah. Karena DPRD merupakan subordinasi, pelaksanaan otonomi menjadi kabur dan tidak dapat diimplementasikan di daerah, jelas Ryaas yang pernah menjadi menteri negara otda dan menteri pendayagunaan aparatur negara ini.

Ryaas juga menyoroti maraknya praktik korupsi di daerah di era otonomi daerah ini. Namun, dia membantah perbuatan curang itu karena pemberlakukan otonomi daerah. Yang salah bukan otdanya, tapi orang-orang yang melaksanakan otda itu, ujarnya.

Dia menceritakan, sebelum pelaksanaan otda juga banyak kasus korupsi terjadi di daerah. Misalnya, penyelewengan dana inpres. Hanya, karena saat itu tidak seterbuka sekarang, masyarakat pun tidak tahu. Dengan otda, semuanya jadi transparan. Yang korupsi jadi kelihatan, paparnya.

Masih terkait dengan kasus korupsi, Ryaas menjelaskan, kebijaksanaan yang diputus pemerintah daerah sebenarnya tidak dapat diadili secara hukum pidana. Yang dapat diadili adalah penyimpangan anggaran secara teknis seperti mark up anggaran. Tapi, saat ini, semuanya bisa dianggap sebagai kasus korupsi. Kalau begini, kasihan pejabatnya, ujarnya.

Dia mengatakan, pengusutan korupsi tentang keuangan negara tidak dapat dimulai dengan laporan surat kaleng dan SMS. Jika hal itu dilakukan, sama saja penegak hukum, jaksa, dan polisi dikendalikan siluman. Jika hal ini dibiarkan, tatanan negara akan semakin rusak, tandasnya.

Sekdaprov Jatim Soekarwo juga mengungkapkan bahwa belakangan ini terjadi tren pejabat diseret ke pengadilan karena menjalankan kebijaksanaan atau keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan di daerah. Padahal, yang dijalankannya itu telah disetujui DPRD sendiri.

Itulah kenapa banyak pejabat tidak mau ditunjuk sebagai pimpro belakangan ini, kata Sekdaprov yang biasa dipanggil Pakde Karwo ini. Dia mencontohkan, baru-baru ini ada sekitar 500 pejabat mengikuti tes untuk mendapatkan sertifikat panitia pengadaan barang dan jasa. Tetapi, di antara lima yang lulus, semuanya menolak menjadi pimpro.

Saat ini telah terjadi penjarahan dan kriminalisasi fungsi administrasi, tegas doktor hukum lulusan Undip ini. Menurut dia, kasus-kasus yang harusnya masuk domain hukum administrasi dibawa ke wilayah hukum pidana dengan alasan untuk pemberantasan korupsi. Inilah yang harus diluruskan para pakar ilmu hukum, tambahnya. (ara/mam)

Sumber: Jawa Pos, 9 Juni 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan