Terjadi 105 L/C Fiktif di BNI Kebayoran Baru

BNI Cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, sangat mudah mengeluarkan letter of credit (L/C). Selama setahun, mulai Juni 2002 hingga Juni 2003, menerbitkan 105 lembar L/C dengan nilai transaksi US$157,4 juta (Rp1,4 triliun) dan euro 56,1 juta (Rp56,1 miliar).

Hal itu terungkap dalam persidangan pembobolan BNI Cabang Kebayoran Baru senilai Rp1,2 triliun (bukan Rp1,7 triliun) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kemarin.

Hadir sebagai saksi dua pejabat dari kantor pusat BNI, yakni mantan Direktur Pengendalian Risiko Binsar Pangaribuan dan mantan Direktur Komersial Eko Budiyono.

Keduanya memberi kesaksian atas terdakwa mantan Kepala BNI Cabang Kebayoran Baru Koesadiyuwono dan mantan Kepala Pelayanan Nasabah Luar Negeri Edy Santoso.

Binsar menjelaskan, penyimpangan transaksi L/C sebanyak 105 lembar itu melibatkan PT Gramarindo Grup dan PT Petindo. Namun transaksi lain, dia mengaku tidak ingat.

Informasi itu saya peroleh setelah membaca hasil audit tim khusus BNI pada Agustus 2003, jelas Binsar. Penyimpangan terungkap, lanjutnya, karena tidak dipenuhi syarat-syarat pada pemberitahuan ekspor barang (BEP). Antara lain, bank pembuka L/C nonkoresponden, tidak ada verifikasi ekspor dan banyak ditemukan kesalahan dalam pengetikan. Ini terkesan pembuatan L/C terburu-buru.

Hal yang sama dikatakan Eko Budiyono, yang tampil setelah Binsar. Menurutnya, semua transaksi yang dilakukan BNI Cabang Kebayoran Baru, kini sudah jatuh tempo. BNI mengalami kerugian Rp1 triliun lebih, tandasnya.

Baik Binsar maupun Eko menilai pihak PT Gramarindo Grup yang dipimpin Maria Pauline tidak berniat membayar transaksi L/C. Sejak kasus mencuat, direksi BNI berkali-kali menghubungi PT Gramarindo. Saya mendengar dalam rapat direksi, BNI terus menghubungi PT Gramarindo. Tetapi sampai hari ini tidak ada lagi uang kembali selain Rp500 miliar, jelas Binsar.

Menjawab pertanyaan Ketua Majelis Hakim Soedarto tentang langkah yang diambil BNI pascapenyimpangan, Binsar dan Eko mengatakan, pihaknya langsung membentuk tim khusus untuk mengaudit. Selain itu, direksi melaporkan ke Mabes Polri.

Langkah lain mengubah sistem, peningkatan pengawasan, dan pemeriksaan terhadap semua personel serta mendalami peran masing-masing. Antisipasi segera dilakukan karena banyak yang terlibat. Tidak hanya kepala cabang. Terlalu banyak yang melakukan penyimpangan. Semua yang melakukan penyimpangan harus bertanggung jawab, tegas Binsar.

Sebagai dampak dari kasus ini, lanjutnya, sejumlah direksi juga dikenai sanksi administrasi. Sanksinya, bisa dipecat atau dikenai tindakan administrasi. Saya sendiri dipaksa mengundurkan diri, urainya.

Sistem pengawasan

Lebih jauh Eko mengatakan, sejak kasus transaksi L/C fiktif terungkap Agustus 2003, pihaknya langsung memanggil Koesadiyuwono dan pejabat lainnya. Menurut Eko, Koesadiyuwono mengakui kesalahan atas transaksi L/C fiktif tersebut.

Apa yang dia katakan saat itu, tanya Soedarto. Eko mengatakan, Koesadiyuwono terdiam dan mengaku salah. Penjelasan itu dibantah Koesadiyuwono. Menurutnya, dirinya terdiam bukan berarti mengaku salah. Tetapi, bingung menjawab karena tidak tahu di mana letak kesalahan.

Menurut terdakwa, selama setahun (Juni 2002 hingga Juni 2003), ia selalu melaporkan transaksi dan kegiatan ke kantor wilayah dan pusat. Tetapi tidak ada teguran. Setelah dibentuk tim audit khusus, Saya dikatakan bersalah, ujarnya.

Koesadiyuwono kemudian bertanya, Lalu, bagaimana sistem pengawasan di kantor pusat? Eko mengaku tidak berhak menjawab pertanyaan itu karena bukan wewenangnya untuk menjelaskan. (Emh/J-1)

Sumber: Media Indonesia, 28 Mei 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan