Terdakwa Salahkan Keppres

Prijanto dan Syafei Sulaiman, terdakwa kasus dugaan korupsi terkait dengan proyek panas bumi Pertamina dan Karaha Bodas Company (KBC), menyalahkan pemerintah atas terbitnya dua keputusan presiden. Jika pemerintah tidak menerbitkan keputusan presiden yang menangguhkan proyek Karaha, kami berdua pasti tidak duduk sebagai terdakwa, ujar Prijanto, membacakan pleidoi (pembelaan) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kemarin.

Dua pegawai Pertamina itu sebelumnya dituntut 9 tahun penjara. Jaksa menilai mereka bersalah tetap menandatangani usul anggaran yang diajukan KBC setelah pemerintah menangguhkan proyek tersebut melalui Keputusan Presiden Nomor 39/1997 dan Nomor 5/1998. Tindakan itu dinilai jaksa menguntungkan KBC dan merugikan keuangan negara senilai total US$ 43,1 juta.

Tapi Prijanto dan Syafei Sulaiman berkukuh tidak bersalah. Mereka menyatakan hanya menjalankan perintah atasan dalam penandatanganan persetujuan usulan anggaran dalam kerangka Work Program & Budget (WP&B) yang diajukan KBC. Ada disposisi dari Direktur Utama Pertamina saat itu untuk meneruskan proyek, ujar Prijanto, mantan Kepala Divisi Panas Bumi Direktorat Eksplorasi Produksi Pertamina.

Syafei Sulaiman, Kepala Dinas Perencanaan Panas Bumi Pertamina, mengatakan, setiap persetujuan atas WP&B didasari hasil pembahasan dan evaluasi terpadu yang melibatkan setiap fungsi dalam Direktorat Eksplorasi. Selalu didahului analisa dan evaluasi bersama oleh tim Pertamina, ujarnya.

Pengacara kedua terdakwa, Djaka Sutrasta, mengatakan, tuntutan jaksa tidak berdasar karena hanya didasarkan atas perbandingan antara realisasi anggaran KBC sesuai dengan hasil Arbitrase Internasional dan hasil uji tuntas yang dilakukan Electro Consult. Hasil uji tuntas, kata Djaka, sesungguhnya hanyalah estimasi biaya. Mestinya dibandingkan dengan pengeluaran riil setelah proyek selesai dan diaudit, ujar Djaka.

Menurut Djaka, tindakan kliennya yang patuh pada disposisi pemimpin semestinya dihargai. Sebab, proyek panas bumi Karaha tidak bisa dihentikan secara mendadak. Sumur-sumur pengeboran itu harus ditutup karena kalau tidak akan sangat berbahaya dan merugikan masyarakat, ujarnya. THOSO PRIHARNOWO

Sumber: Koran Tempo, 3 Januari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan