Terdakwa Korupsi 4 Helikopter Dituntut 9 Tahun

Dianggap terbukti bersalah dalam kasus dugaan korupsi pengadaan empat helikopter Mi-17 milik Departemen Pertahanan (Dephan), dua pejabat di instansi itu kemarin dituntut oleh JPU (jaksa penuntut umum). Mereka adalah mantan Direktur Pelaksanaan Anggaran Direktorat Jenderal Perencanaan Sistem Pertahanan Brigjen (pur) TNI Prihandono dan mantan Kepala Pusat Keuangan Tardjani. Keduanya dituntut sembilan tahun penjara.

Di bagian lain, mantan pejabat sipil, yakni mantan Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) Jakarta VI Mardjono, juga dituntut sembilan tahun pidana. Terdakwa IV Andy Kosasih dipidana 12 tahun, ujar Koordinator JPU Musyaman Faried dalam persidangan di Ruang Sidang Utama Lantai III Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemarin.

Selain tuntutan pidana, keempat terdakwa juga dituntut membayar denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan. Uang pengganti Rp 29,11 miliar harus dibayar empat terdakwa secara tanggung renteng. Jika dalam satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap (in kracht) belum dibayar, maka harta terdakwa akan disita. Jika nilainya belum mencukupi, diganti dengan pidana selama empat tahun, kata Musyaman dalam sidang yang dimulai pukul 14.15 tersebut.

Keempat terdakwa dianggap terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP. Karena telah dianggap memenuhi dakwaan primer, maka dakwaan subsider (pasal 3 UU yang sama, Red) tak perlu dipertimbangkan, tambah Musyaman dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Agung Rahardjo itu.

Kasus tersebut bermula dari penandatanganan kontrak antara Dephan yang diwakili KSAD Jend TNI Ryamizard Ryacudu dan PT Swifth Air yang diwakili Wiryadi Handaja pada 19 Desember 2002.

Berdasar fakta persidangan, JPU bersikukuh bahwa tindakan para terdakwa telah memenuhi unsur-unsur esensial dalam dakwaan a quo. Unsur melawan hukum terpenuhi karena keempat terdakwa dianggap telah melanggar Keppres No 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Dalam keppres tersebut diatur bahwa uang muka dapat dicairkan setelah rekanan menyetorkan jaminan uang muka baik berupa bank garansi atau asuransi. Namun, pada 30 Desember 2002, terdakwa satu Brigjen TNI Prihandono secara melawan hukum mengirimkan surat kepada Kapuskeu Dephan tentang persetujuan penerbitan Surat Perintah Pembayaran (SPP) untuk pembayaran uang muka senilai 3,24 juta dolar AS tanpa dilampirkan bank garansi.

Selanjutnya, Tardjani menerbitkan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) sehingga dana bisa dicairkan tanpa ada bank garansi. Terdakwa III, Mardjono selaku kepala KPKN Jakarta VI, kemudian menerbitkan surat perintah membayar senilai 3,24 juta dolar AS dari rekening bendaharawan umum negara kepada rekening milik PT Swifth Air and Industrial Supply.

Pada 30 Desember 2002, Andy Kosasih selaku agen Swifth Air di Indonesia telah membuat surat pernyataan berupa kesanggupan menyerahkan bank garansi uang muka. Andy kemudian menyerahkan bank garansi yang dikeluarkan Bank Mandiri pada 5 Mei 2004 berupa advance payment bond senilai 3,24 juta dolar AS dan performance bond senilai 1,080 juta dolar AS.

Namun, setelah Dephan melakukan pengecekan, ternyata Bank Mandiri tidak pernah menerbitkan bank garansi yang diserahkan oleh Andy tersebut. Padahal, bank garansi berguna jika rekanan mangkir, negara bisa mencairkannya. Itu untuk menghindari kerugian negara, jelas JPU Azwar.

Uang negara 3,24 juta dolar AS atau setara dengan Rp 29,11 miliar yang telanjur cair ke rekening milik Swifth Air, oleh Andy kemudian diamankan ke rekening miliknya di Bank BNI. Namun, kata Azwar, uang tersebut bukannya dipergunakan untuk mengadakan helicopter.(ein)

Sumber: Jawa Pos, 29 September 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan