Temukan Delapan Pungutan di SD; Survei ICW di Empat Kota Indikasikan Dana BOS Bocor Miliaran Rupiah
Pemerintah dinilai gagal menyosialisasikan dana Bantuan Operasi Sekolah (BOS) kepada masyarakat. Buktinya, mayoritas orang tua murid tidak tahu keberadaan dan fungsi BOS.
Selain itu, meski dana BOS sudah dialokasikan pemerintah pusat kepada daerah, masih banyak orang tua murid yang mengaku tetap wajib membayar sumbangan yang diminta sekolah. Tak kalah mengejutkan, miliaran rupiah dana BOS yang sudah dialokasikan bocor karena minimnya pengawasan. Sekolah juga tak transparan dalam mengelola dana BOS.
Itulah hasil survei Indonesian Corruption Watch (ICW) terkait bidang pendidikan di empat kota di tanah air selama Agustus-September 2005. Empat kota yang jadi sasaran survei itu adalah DKI Jakarta, Semarang, Kupang, dan Garut. Responden terbanyak di Jakarta, yaitu 33,38 persen. Semarang 26,70 persen, Kupang 20,03 persen, dan Garut 19,89 persen
Di empat kota itu kita survei dengan menggunakan sampel setiap daerah secara proporsional berdasar jumlah SD negeri. Hasilnya, kita temukan banyak penyimpangan, kata Lucky Djarni, wakil koordinator ICW, saat jumpa pers di Jakarta kemarin. Bila dibiarkan, kata dia, penyelewengan dana BOS akan semakin merajalela.
Dari hasil survei itu, terungkap bahwa banyak orang tua murid tidak tahu kebijakan soal BOS. Ini dibuktikan dengan pengakuan responden yang menyatakan tidak tahu, yaitu 64,3 persen. Yang mengaku tahu hanya 35,7 persen.
Orang tua murid juga tidak dilibatkan dalam rapat penyusunan anggaran pendapatan belanja sekolah (APBS). Hal itu bisa dilihat dari responden yang mengaku tidak tahu tentang rapat APBS, yakni 53,5 persen. Yang mengetahui hanya 46,5 persen.
Ini membuka peluang dana BOS diselewengkan. Seharusnya orang tua murid memantau di SD anaknya sehingga penyelewengan bisa dihindari, katanya.
Dana BOS, lanjut Lucky, juga belum menghilangkan semua pungutan di sekolah. Dia memaparkan, delapan jenis pungutan ditemukan di SD empat kota. Yaitu, uang LKS dan buku paket, uang SPP/komite setiap bulan, uang pendaftaran masuk sekolah, uang bangunan, uang ujian, uang study tour, uang olahraga, dan uang kegiatan ekstrakulikuler.
Menurut dia, larangan pemerintah agar sekolah tidak memungut lagi menyangkut operasional sekolah, agaknya, tidak berlaku. Sebab, dana BOS tak mencukupi kebutuhan. Apalagi, total uang pungutan ternyata lebih besar daripada dana BOS yang diterima sekolah.
Soal angka penyelewengan, Lucky tidak bisa menyebut dari hasil surveinya di empat kota. Saya mengasumsikan dana BOS diselewengkan karena pungutan liar masih terus. Seharusnya item-item tertentu haram dipungut, katanya. Pungutan liar itu terjadi karena orang tua murid tidak tahu dan hanya pasrah.
Dia juga menilai, aparat pemerintah, seperti Diknas, Dinas Pendidikan Provinsi, Dinas Pendidikan di tingkat II, kurang serius menyosialisasikan BOS. Ini membuka celah praktik-praktik manipulasi Kadis Pendidikan dan kepala sekolah, kata Lucky.
Lucky lantas menjelaskan upaya mencegah kebocoran. Pertama, membuka ruang partisipasi. Paling tidak, orang tua tahu kewajibannya. Kemudian, Dinas Pendidikan harus merilis daftar sekolah penerima BOS. Sekolah penerima juga harus memublikasikan secara umum jumlah dana yang diterima dan diperuntukkan apa saja. Terakhir, saat rapat APBS, sekolah harus melibatkan orang tua murid. (bud)
Sumber: Jawa Pos, 29 Oktober 205