Tekad Berantas KKN Mati Muda
ISU suap di pengadilan muncul kembali dalam pemberitaan media massa. Kali ini isu tersebut muncul dari gedung Mahkamah Agung (MA). Beberapa pegawai MA beserta seorang mantan hakim tinggi ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penangkapan ini terkait dengan dugaan keikutsertaan mereka dalam proses pengurusan perkara Probosutedjo.
Sekitar sembilan tahun silam, kita juga pernah mendengar mengenai adanya isu kolusi di MA. Isu itu disulut oleh adanya surat rahasia dari Ketua Muda Mahkamah Agung Adi Andojo Soetjipto kepada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam suratnya, Adi Andojo meminta Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat meninjau kembali keputusannya untuk membebaskan Ram Gulumal dari segala tuntutan dalam kasus pembangunan Gandhi Memorial School di kawasan Ancol, Jakarta Utara. Sebagaimana diketahui, akhir dari kasus ini kemudian menyimpulkan bahwa tidak ada kolusi di MA, yang ada hanyalah penyimpangan prosedur.
Hal ini belum termasuk berbagai kasus lain yang pernah terjadi di peradilan, seperti kasus pemalsuan putusan dan pembocoran isi putusan sebelum dibacakan secara resmi oleh majelis hakim.
Ketika proses reformasi politik di Indonesia terjadi, salah satu praktik kotor yang ingin diberantas ialah masalah kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Berbagai peraturan dikeluarkan, berbagai lembaga dibentuk, berbagai kebijakan restrukturisasi kelembagaan (termasuk lembaga penegakan hukum di Indonesia) dilakukan, namun hingga sekarang praktik-praktik KKN tidak pernah hilang dari bumi Indonesia. Hal inilah yang selalu menjadi akar perdebatan: bagaimana cara paling efektif untuk melakukan pemberantasan terhadap KKN?
Menurut Petter Langseth, mantan Manajer Global Programme Against Corruption United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), penyuapan adalah pemberian hadiah untuk memengaruhi suatu tindakan atau keputusan penyuapan dapat dilakukan oleh seseorang yang meminta uang suap atau oleh orang yang menawarkan dan kemudian membayarkan uang suap.
Penyuapan kemungkinan merupakan bentuk yang paling umum dari korupsi yang diketahui. Terdapat beragam definisi atau penjelasan dalam berbagai instrumen internasional dalam undang-undang (UU) di sebagian besar negara dan dalam publikasi akademis.
Mimpi Bebas Korupsi
HADIAH dalam penyuapan dapat berupa apa pun: uang dan barang berharga, saham perusahaan, informasi orang dalam, layanan seksual atau layanan lainnya, pekerjaan, atau, janji untuk memberikan insentif belaka.
Hadiah tersebut dapat diberikan secara langsung atau tidak langsung kepada orang yang disuap, atau kepada pihak ketiga, seperti teman, kerabat, kenalan, organisasi amal yang paling disukai, perusahaan swasta, partai politik, atau kampanye pemilu.
Tindakan untuk hal mana suap tersebut diberikan dapat bersifat aktif, yakni berupa penggunaan pengaruh administratif atau politik; dan dapat pula bersifat pasif, yakni berupa pengabaian beberapa pelanggaran atau kewajiban. Suap dapat dibayarkan langsung oleh yang bersangkutan atas dasar kasus per kasus atau sebagai bagian dari hubungan yang berkesinambungan, yakni si pejabat menerima pemberian secara rutin untuk jasa yang diberikan secara rutin pula.
Ketika penyuapan terjadi, bentuk-bentuk korupsi lainnya dapat menyusul. Dengan menerima suap, seorang pejabat menjadi lebih rentan terhadap pemerasan. Sebagian besar definisi hukum internasional dan nasional berupaya untuk memidanakan penyuapan.
Beberapa definisi berupaya untuk membatasi pemidanaan pada situasi-situasi ketika penerima suap adalah pejabat publik atau saat terdapat kepentingan publik yang terkena dampak, dan meninggalkan kasus-kasus penyuapan lainnya untuk diselesaikan dengan jalan nonpidana atau nonhukum.
Kalau dikaitkan dengan konteks Indonesia, metode-metode yang diuraikan dalam paparan Langseth tersebut hampir sebagian besar terjadi dalam kenyataannya. Hal ini menimbulkan rasa skeptis bagaimana penegakan hukum akan dapat dilaksanakan pada masa-masa yang akan datang.
Dalam proses penegakan hukum, akan banyak pihak yang terkait, baik pihak-pihak di dalam lingkungan aparat penegak hukum sendiri (hakim, jaksa, polisi, dan berbagai pihak lainnya) dan pihak-pihak di luar lingkungan aparat penegak hukum, seperti pengacara, kalangan bisnis, dan sebagainya. Semua pihak ini harus diperhitungkan kedudukan dan peranannya jika kita ingin melakukan penegakan hukum secara konsisten.
Selama ini tampak adanya kecenderungan bahwa fokus perhatian masyarakat dan media hanya tertuju pada kalangan aparat penegak hukum semata, khususnya kalangan hakim. Padahal dalam proses penegakan hukum, banyak kalangan juga harus diperhitungkan. Dugaan kasus penyuapan dalam proses perkara Probosutedjo terasa ikut membenarkan sinyalemen ini.
Dengan demikian dapat dikemukakan suatu tesis bahwa pengembangan dan pelaksanaan pemerintahan dan strategi pemberantasan korupsi yang efektif memerlukan koordinasi dan integrasi dari berbagai faktor yang berbeda.
Semua unsur harus terpadu secara internal untuk membentuk strategi tunggal yang seragam dan koheren, dan secara eksternal diperlukan upaya-upaya tingkat nasional yang lebih luas untuk menciptakan: (1) supremasi hukum; (2) pembangunan yang berkesinambungan; (3) reformasi politik dan konstitusi; (4) reformasi besar-besaran pada peradilan ekonomi dan pidana.
Dalam beberapa kasus, reformasi harus juga dikoordinasikan dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh lembaga pemberi bantuan, organisasi internasional, atau lembaga-lembaga lainnya.
Dalam kasus di Indonesia saya mengamati bahwa tekad pemberantasan korupsi telah terlihat sangat kuat semenjak awal pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presiden terlihat beberapa kali memimpin rapat dengan para aparat yang terkait kewenangannya dengan pemberantasan korupsi, termasuk dengan kalangan KPK yang berada di luar struktur pemerintahan.
Namun sayangnya tekad tersebut belum mencapai hasil yang maksimal karena kurang mendapatkan dukungan di level pelaksana, khususnya kalangan para aparat penegak hukum sendiri. Misalnya tidak atau belum terlihat adanya kalangan pengusaha bermasalah dengan nilai korupsi yang sangat besar atau yang sering kali diistilahkan sebagai 'kakap' atau big fish yang diproses.
Kalau pun tertangkap dan diproses, biasanya kemudian kasusnya diistimewakan dan diberi label 'tidak merugikan keuangan negara'. Hal ini akan terjadi pula apabila kasusnya melibatkan orang yang sedang berkuasa atau kalangan mantan penguasa yang masih memiliki pengaruh yang kuat terhadap orang-orang yang saat ini sedang berkuasa.
Ada pun terhadap para mantan penguasa yang tidak memiliki pengaruh terhadap kalangan penguasaan saat ini, atau tidak memiliki kekuatan politik riil apa pun, akan sangat mudah untuk mendapatkan sanksi. Dan ketika hal ini diekspos oleh pemberitaan media massa akan muncul kesan seolah-olah proses pemberantasan korupsi telah terjadi.
Contoh lain, tekad Presiden SBY untuk melakukan 'pembersihan' terhadap praktik-praktik korupsi di kalangan dalam rumah tangganya sendiri pun hingga saat ini tidak pernah sukses. Proses penuntasan kasusnya berputar-putar.
Tiap kali pejabat yang ditugaskan Presiden muncul dan memberikan keterangan pers, selalu muncul justifikasi bahwa hal ini tidak akan dipetieskan dan prosesnya belum bisa dilanjutkan karena masih harus menunggu 'bukti ini' dan 'bukti itu'. Sementara itu, waktu terus berjalan. Harapan masyarakat yang semula sangat tinggi, lama-kelamaan menjadi semakin memudar.
Dengan demikian tekad pemberantasan korupsi lama-kelamaan dapat dikatakan cenderung untuk 'mati muda'. Dan 'kematian' itu bukan dikarenakan ketiadaan political will dari puncak pemerintahan, namun dikarenakan banyaknya kepentingan dari kalangan-kalangan di sekitar atau di luar Presiden agar kasusnya tidak dibuka.
Adanya suatu lembaga pemberantasan korupsi seperti KPK sebenarnya masih membuka harapan masyarakat agar korupsi bisa terus diberantas. Namun demikian sebagaimana banyak diteriakkan, KPK diharapkan menuntaskan suatu kasus dengan tuntas, dan tidak terkesan diskriminasi.
Munculnya kembali isu suap di lembaga pengadilan tertinggi harus dijadikan momentum bagi aparat penegak hukum untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang bebas korupsi. Mungkin saat ini hal tersebut masih merupakan suatu utopia. Semoga dugaan ini tidak benar adanya.
Satya Arinanto, Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Tulisan ini disalin dari Media Indonesia, 17 ktober 2005