Tebang-Pilih Berantas Korupsi

Sepanjang tahun 2005 terjadi perkembangan yang amat signifikan dalam agenda pemberantasan korupsi. Baik secara kualitatif maupun kuantitatif, pengungkapan dan penanganan kasus korupsi lebih maju dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Tidak hanya itu, lembaga-lembaga yang mempunyai tugas dan wewenang untuk memberantas korupsi juga menunjukkan geliat yang memberikan harapan lebih baik. Bahkan, untuk target yang lebih terukur, awal tahun ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 membentuk Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor).

Namun, di tengah perkembangan di atas, muncul pendapat lain, dalam beberapa kasus terjadi tebang-pilih (diskriminasi) dalam penanganan korupsi. Pendapat tersebut dilatarbelakangi pengalaman dalam beberapa waktu terakhir, posisi politik pelaku korupsi menjadi lebih menentukan tindak lanjut pengungkapan kasus korupsi.

Contoh kasus
Salah satu kasus besar yang mendapat sorotan publik adalah skandal korupsi yang melanda Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam kasus ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kehilangan kemampuan dan keberanian untuk menuntaskan semua kasus korupsi yang terjadi. Sekalipun sudah mendorong beberapa aktor utama skandal korupsi KPU ke pengadilan dan sebagiannya sudah dinyatakan bersalah, KPK dapat dikatakan gagal melakukan penyelesaian secara menyeluruh.

Kegagalan tersebut terjadi karena sampai saat ini KPK hanya menyentuh secara terbatas aktor-aktor yang terkait dengan skandal korupsi KPU. Sebagian kalangan menilai, proses hukum terhadap Ketua KPU menjadi lebih mudah karena posisi politik Nazaruddin Sjamsuddin tidak sekuat beberapa anggota KPU yang lain. Padahal, dalam tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama, kalau salah seorang pelaku sudah dijadikan tersangka (apalagi Nazaruddin sudah dinyatakan bersalah), tidak ada alasan untuk tidak menindaklanjuti proses hukum pelaku yang lain.

Karena perbedaan perlakuan itu, beberapa anggota Komisi III DPR pernah menyatakan bahwa KPK diskriminatif dalam pengusutan skandal korupsi di tubuh KPU. Bahkan, dalam pandangan salah seorang anggota Komisi III DPR, Benny Harman (dari Fraksi Partai Demokrat), sejak kasus KPU muncul, ia sudah mencium ada beberapa orang yang tidak akan diseret KPK (Kompas, 28/09). Hampir dapat dipastikan, pandangan Benny Harman didasarkan pada posisi politik beberapa anggota KPU.

Contoh lain yang cukup menarik untuk disimak adalah pengungkapan kasus korupsi penyalahgunaan Dana Abadi Umat (DAU). Sampai sejauh ini pengungkapan kasus itu telah menyentuh beberapa orang yang dianggap punya peran penting dalam penyalahgunaan DAU, termasuk mantan Menteri Agama Said Agil Husein Al Munawar.

Dikatakan menarik, ketika permulaan proses hukum terhadap Said Agil disebutkan bahwa sebagian DAU dinikmati oleh pejabat negara, mulai dari anggota DPR sampai anggota kabinet. Sampai sejauh ini pengungkapan kasus itu tidak kunjung bergerak kepada pihak-pihak lain yang juga ikut menerima aliran DAU. Padahal, dalam konteks pemberantasan korupsi, semua pihak yang menerima aliran DAU harus ikut bertanggung jawab.

Sebetulnya bukan tidak ada upaya untuk melakukan proses hukum terhadap pihak lain yang menikmati DAU. Misalnya, pada pertengahan November 2005 Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat menetapkan Khairiansyah Salman (mantan auditor BPK) sebagai tersangka dalam kasus suap DAU. Dalam salinan surat tanda terima barang bukti Badan Reserse Kriminal Polri Direktorat III disebutkan, saat mengaudit DAU, Khairiansyah menerima uang dalam bentuk uang Lebaran, transpor, dan uang saku (Emerson Yuntho, 2005).

Penetapan Khairiansyah Salman sebagai salah seorang tersangka dapat dijadikan bukti bahwa semua orang bersamaan di hadapan hukum (equality before the law). Namun, penetapan itu membuktikan bahwa pemberantasan korupsi lebih mudah menyentuh orang-orang yang tidak punya posisi politik kuat. Semestinya, karena dalam proses awal Said Agil menyebut beberapa nama pejabat penting yang sedang berkuasa ikut menikmati DAU, dalam konteks equality before the law, proses hukum harus diprioritas bagi pejabat dimaksud.

Kalau ditelusuri lebih jauh, tebang-pilih pemberantasan korupsi tidak hanya terjadi dalam proses penyidikan. Beberapa kasus membuktikan, tebang-pilih juga terjadi dalam menindaklanjuti putusan pengadilan. Dalam proses eksekusi kasus Probosutedjo, misalnya, Mahkamah Agung (MA) mampu menyampaikan salinan putusan berselang satu hari setelah vonis dibacakan. Karena proses salinan cepat itu, hanya dua hari setelah vonis dibacakan eksekutor sudah mengeksekusi Probosutedjo.

Sayang, lompatan besar MA dalam kasus Probosutedjo tidak terjadi dalam kasus lain. Dalam menjelaskan ini, saya selalu mencontohkan kasus korupsi yang melibatkan 43 anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat periode 1999-2004 dalam penyalahgunaan APBD Tahun 2002. Di mana, sejak awal Agustus 2005, MA telah menolak permohonan kasasi 43 anggota DPRD. Namun, setelah berlangsung hampir lima bulan, penolakan kasasi itu belum bisa dieksekusi karena eksekutor belum menerima salinan penolakan kasasi MA.

Desain baru
Melihat beberapa kasus di atas, tebang-pilih seolah-olah menjadi desain baru dalam agenda pemberantasan korupsi. Pada salah satu sisi, pelaku korupsi yang tidak lagi berada di pusaran kekuasaan menjadi lebih mudah dijangkau proses hukum. Sementara di sisi lain, mereka yang berada di lingkaran kekuasaan tidak bisa dijangkau dengan prinsip equality before the law.

Kalau desain baru itu benar adanya, masuk dan bertahan di lingkaran kekuasaan akan menjadi cara lain bagi koruptor untuk berlindung dari jerat hukum. Dan, kecenderungan itu sudah terlihat dengan jelas dalam beberapa waktu terakhir.

Saldi Isra Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Pengajar Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Tulisan ini disalin dari kompas, 27 Desember 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan