Taring Penegak Hukum Baru

Agak mengejutkan juga ketika awal pekan lalu sekelompok orang dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) mendatangi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengajukan permohonan judicial review. Yang dimintakan judicial review adalah UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) yang mewadahi atau memberikan dasar hukum bagi pembentukan lembaga penegak hukum baru yang kemudian lebih dikenal sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut.

Mereka mengatakan, pembentukan KPK tanpa dasar konstitusional, tidak dikenal dalam UUD 1945, dan karena itu lembaga tersebut harus dibubarkan.

Tak Harus Eksplisit
Kita tak tahu persis apakah penggugat itu sungguh-sungguh menemukan logika hukum dan konstitusi dalam melakukan itu ataukah karena kurang paham bahwa tak semua UU hanya bisa dibuat kalau ada perintah eksplisit dari UUD.

Kenyataannya dapat dipastikan lebih dari 75 persen di antara seluruh UU yang ada di Indonesia ini justru tidak berdasar perintah eksplisit UUD. Artinya, pembuatan UU sebagai pelaksanaan politik hukum nasional tidak harus didasari perintah langsung UUD, melainkan tergantung juga pada kebutuhan di lapangan.

Tapi, biarlah itu ditangani MK untuk diputus apakah benar UU No 30/2002 bertentangan dengan (dan harus diuji materinya terhadap) UUD 1945. Munculnya gugatan seperti itu harus juga ditanggapi positif sebagai bagian dari upaya untuk lebih memahamkan konstitusi kepada masyarakat.

Memang, belakangan ini banyak yang mempertanyakan kehadiran lembaga-lembaga baru penegak hukum di luar institusi yang sudah lama ada seperti kepolisian dan kejaksaan. Di bidang penyidikan dan penuntutan, dibentuk KPK melalui UU dan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtastipikor) melalui sebuah inpres.

Ada juga Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan pengadilan-pengadilan ad hoc lainnya. Ada yang mengatakan, banyaknya lembaga penegak hukum yang bermunculan belakangan ini membuat masyarakat bingung. Ya, kalau dipikir-pikir, semua perkembangan tersebut memang tidak wajar.

Jawaban atas Kegagalan
Tetapi, sebenarnya pengembangbiakan (proliferasi) lembaga penegak hukum baru itu merupakan jawaban atas mandulnya lembaga penegak hukum yang sudah lama ada. Upaya memberantas korupsi melalui lembaga konvensional seperti kejaksaan dan kepolisian menimbulkan kekecewaan sangat besar karena tidak mampu mengisi agenda reformasi dengan baik.

Hampir tak ada kasus korupsi besar yang diajukan ke pengadilan oleh kejaksaan dan kepolisian; malah sebaliknya banyak kasus yang akhirnya tenggelam tanpa jelas lagi kabar beritanya. Dalam beberapa kasus yang bisa diajukan ke pengadilan, malah pelakunya dibebaskan. Yang tidak dibebaskan, banyak pelakunya yang kabur ke luar negeri.

Mungkin karena itu seorang Faisal Basri pernah mengusulkan agar Indonesia mengimpor saja hakim dan jaksa dari luar negeri karena yang kita miliki tak ada yang bisa dipercaya. Kita yakin, Faisal Basri sendiri pasti tahu bahwa usulnya itu tak mungkin dilaksanakan. Sebab, selain tidak nasionalistis, juga dilarang oleh UU.

Kita yakin, Faisal Basri melontarkan itu karena sangat kesal terhadap realitas penegakan hukum yang seharusnya menjadi kunci utama dalam menyukseskan semua agenda reformasi, tetapi ternyata sangat berengsek.

Itulah sebabnya, sejak zaman kepresidenan Gus Dur, muncul dorongan kuat dari masyarakat untuk membentuk satu komisi khusus yang cukup kuat dalam memberantas korupsi dengan segala mafia peradilannya. Gagasan itu kemudian dituangkan di dalam sebuah UU yang pada awal pekan lalu digugat ke MK itu.

Jadi, kisah KPK ini adalah soal politik hukum yang sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945, malah melengkapi arah hukum yang dikehendaki oleh UUD 1945.

Timtastipikor dibentuk atas inisiatif Presiden SBY yang dulu menyatakan janjinya untuk memimpin sendiri pemberantasan korupsi.

Lebih Bertaring
Kenyataannya, KPK dan Timtastipikor memang lebih bertaring dan berhasil membuktikan sebagai pemburu kasus korupsi. Keduanya jauh lebih efektif jika dibandingkan dengan kepolisian dan kejaksaan.

Beberapa koruptor dikirim ke penjara oleh kedua lembaga penegak hukum baru itu. Banyak masyarakat yang kemudian mendukung dan berharap kepada keduanya. Sebaliknya, banyak koruptor yang takut kepada keduanya.

Oleh sebab itu, kita dapat memahami makna di belakang pernyataan Ketua KPK Taufikurrahman Ruki ketika mengusulkan agar penanganan kasus-kasus korupsi disatuatapkan saja di bawah Peradilan Tindak Pidana Korupsi dan dilepaskan dari peradilan umum.

Ruki melontarkan gagasan itu begitu masyarakat dikejutkan oleh bebasnya Neloe cs dari dakwaan korupsi Bank Mandiri di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 20 Februari lalu. Kata Ruki, banyak kasus korupsi yang ditangani peradilan umum lolos, sedangkan yang ditangani Pengadilan Tipikor tak ada yang lolos.

Teten Masduki dari Indonesia Corruption Watch agak mendukung gagasan itu, tetapi Ketua PN Jakarta Selatan Andi Samsan dan Jubir Mahkamah Agung Djoko Sarwoko tak menyetujuinya (Pers, 25/2/06).

Benar faktanya, kasus-kasus korupsi yang ditangani oleh KPK dan Timtastipikor melalui Pengadilan Tipikor tidak ada yang lolos, sedangkan yang ditangani Kejagung melalui peradilan umum banyak yang lolos.

Tapi, betul-betul perlukah penyatuatapan peradilan tipikor itu? Saya melihat, efektivitas KPK dan Timtastipikor itu ada karena keduanya merupakan lembaga baru yang tidak terbelenggu atau tersandera oleh kasus-kasus lama. Keduanya juga tak dibelit oleh lingkungan kerja konvensional yang telanjur bobrok.

Jadi, masalahnya bukan satu atap atau tidak, melainkan karena keduanya merupakan lembaga baru yang lebih leluasa dalam bergerak. Disatuatapkan pun kalau brain ware-nya masih yang lama, rasanya, tak bisa diharapkan juga. Institusi konvensional yang lama kalau mau efektif harus dibersihkan dulu, baik melalui passing-out yang agak lamban maupun melalui cuci gudang yang lebih cepat.

* Moh. Mahfud M.D., anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FKB)

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 9 Mei 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan