Tarik RUU Antikorupsi

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas meminta pemerintah menarik kembali Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan mengkajinya kembali. RUU Antikorupsi itu bisa cacat metodologis, jika tidak didahului survei publik dan telaah kritis berbagai kalangan.

Hal itu diungkapkan Busyro kepada pers setelah memberikan kuliah umum di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Senin (28/3).

Busyro menyarankan pemerintah perlu memberikan draf RUU Antikorupsi itu kepada perguruan tinggi dan LSM yang kompeten untuk melakukan kajian. Pemerintah dapat meminta pendapat mereka dan mengakomodasi pendapat tersebut.

”Transparansi seperti ini sangat penting. Jika tidak ditempuh, saya khawatir ini akan menjadi bola liar yang merugikan pemerintah sendiri,” kata dia.

Menurut Busyro, draf RUU Antikorupsi yang menghilangkan hukuman mati berpotensi melemahkan pemberantasan korupsi di negeri ini. Pemerintah harus menjelaskan moralitas atau logika hukum penghapusan hukuman mati. Ia membandingkan komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia dengan China. Di China, selama 10 tahun pemerintah China telah menghukum mati 100 koruptor atau 10 koruptor per tahun.

”Jika itu (draf RUU Antikorupsi) dipertahankan, tidak cuma melemahkan KPK, tetapi juga komitmen pemberantasan korupsi,” tutur dia.

KPK mengaku tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan draf RUU ini. Terkait revisi, KPK memiliki sikap sendiri. Menurut KPK, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan UU KPK saat ini sebenarnya sangat memadai. Jadi tidak diperlukan revisi untuk kedua UU tersebut.

Patrialis membantah
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar justru mengatakan bahwa UU Pemberantasan Tipikor justru akan lebih kuat karena cakupan korupsi diperluas.

”Tidak benar ada keinginan mengurangi upaya pemberantasan korupsi. Baca dulu yang lengkap, baru komentar,” kata Patrialis setelah rapat kerja dengan Komisi III DPR kemarin.

Menurut Patrialis, pemerintah justru berupaya memperkuat pemberantasan korupsi. Dalam rancangan perombakan UU Tindak Pidana Korupsi, cakupan korupsi justru diperluas.

Dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah disempurnakan menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi disebutkan, korupsi adalah tindakan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi sehingga merugikan keuangan negara. Namun, dalam rancangan perubahan UU Tindak Pidana Korupsi yang disusun pemerintah, segala tindakan menyalahgunakan wewenang dan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain tetap disebut korupsi meski tidak merugikan keuangan negara.

Bukan hanya itu, pejabat publik yang tidak melaporkan harta kekayaan juga dianggap korupsi dan diancam pidana penjara paling lama dua tahun atau denda maksimal Rp 100 juta (Pasal 22). Begitu pula pejabat publik yang salah dalam melaporkan harta kekayaan diancam pidana maksimal tiga tahun atau denda sebesar Rp 150 juta.

Kalangan swasta pengelola keuangan untuk kepentingan umum yang melakukan penyalahgunaan juga tidak luput dari jerat korupsi.

Selain itu menurut Patrialis, sanksi hukuman mati belum tentu dihilangkan.

Patrialis memaparkan, saat ini draf perubahan UU Tindak Pidana Korupsi masih tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. Rencananya rancangan perubahan UU itu diajukan ke DPR satu atau dua bulan mendatang.

Peneliti Pusat Kajian Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Feri Amsari, saat dimintai tanggapan soal draf revisi UU Tipikor antara lain mengatakan, ”Pemerintah bukan lagi panglima pemberantasan korupsi, tetapi panglima dalam pelemahan pemberantasan korupsi,”

Sementara itu, hakim konstitusi Akil Mochtar melihat adanya kecenderungan DPR mereduksi kewenangan sejumlah lembaga melalui revisi UU. Padahal, reformulasi sejumlah UU seharusnya dilakukan dangan semangat penguatan kelembagaan. Reduksi bisa dilakukan jika menimbulkan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan).

Beberapa revisi yang sarat kepentingan, antara lain, UU Penyelenggara Pemilu, yaitu dengan percepatan, diperbolehkan anggota partai politik menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum. Kemudian revisi UU Mahkamah Konstitusi yang akan mengatur secara rigid jenis putusan MK yang hanya menolak atau mengabulkan (tidak boleh lagi ada putusan konstitusional bersyarat), serta ketentuan bahwa putusan tidak boleh ultra petita (melebihi yang dimintakan). DPR juga akan mengatur pemilihan Ketua Mahkamah Konstitusi dilakukan setahun sekali.(NTA/ANA/RAY)

Sumber: Kompas, 29 Maret 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan