Tantangan Hukum Kita
Bagaimana wajah hukum Indonesia setelah 100 tahun Kebangkitan Nasional pasca-80 tahun Sumpah Pemuda dan setelah 63 tahun Proklamasi Kemerdekaan?
Apakah RUU Antipornografi, RUU Pemilihan Presiden, RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, atau produk hukum lain, sudah sesuai semangat kita berbangsa?
Hukum berpancasila
Alat ukur pertama untuk menilai hukum berkeindonesiaan tidak lain dan tak bukan adalah Pancasila. Produk hukum apa pun harus berketuhanan, berkemanusiaan, berkesatuan, bermusyawarah perwakilan, dan berkeadilan.
Berketuhanan bermakna norma agama tidak boleh hilang dalam setiap produk hukum Indonesia. Tantangannya, bagaimana hukum yang berlandaskan nilai agama tidak membuat Indonesia menjadi negara agama. Untuk itu, yang bisa diterima dan diadopsi bukan dominasi norma agama tertentu, tetapi norma agama universal yang lebih bersifat muamalah bukan ibadah. Karena dalam tataran muamalah, norma agama relatif mempunyai nilai yang sama, misalnya antikorupsi, antipolusi, dan antidiskriminasi. Dalam tataran ibadah, masing-masing agama mempunyai detail berbeda.
Kedua, hukum berkemanusiaan bermakna tidak boleh ada aturan hukum yang menafikan keinsanan manusia. Yang paling nyata, tidak boleh ada hukum yang melanggar HAM. Hukum yang mendiskriminasi, baik berdasarkan suku, agama, ras maupun golongan sosial, adalah hukum manusia yang batal demi kemanusiaan. Meski perlu pula ditegaskan, dalam hukum berkemanusiaan perlu pula penghormatan kewajiban asasi, selain hak asasi, agar ada keseimbangan. Pada konteks berkemanusiaan inilah capaian kita membuat aturan yang melindungi hak asasi hingga yang terakhir undang-undang kewarganegaraan patut disyukuri.
Ketiga, hukum berkesatuan adalah hukum yang menjaga pluralitas dan persatuan Indonesia dalam kebinekaan. Jika dalam hukum berketuhanan, hukum nasional tidak boleh didominasi hukum agama tertentu; maka hukum nasional tidak boleh didominasi hukum daerah apalagi terkontaminasi hukum negara (internasional) tertentu. Sebaliknya, hukum nasional tidak boleh menafikan eksistensi hukum lokal. Tantangannya, hukum nasional harus menjaga hukum adat yang makin lama justru kian tergerus. Padahal, tidak jarang kearifan hukum lokal dan bukan hukum internasional lebih sesuai semangat keindonesiaan.
Keempat, hukum bermusyawarah perwakilan adalah hukum yang menghormati proses demokrasi. Dibanding keempat hukum berpancasila lain yang lebih bersifat isi (substansi), hukum bermusyawarah lebih menekankan proses yang demokratis. Maknanya, tiap norma bisa menjadi hukum positif Indonesia, yang mengikat seluruh warga jika melalui proses demokratis, yaitu melalui proses legislasi di lembaga perwakilan nasional maupun lokal yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum yang demokratis. Maka, menjadi amat koruptif jika suatu perumusan undang-undang dikontaminasi dengan aliran dana di luar anggaran resmi.
Kelima, hukum yang berkeadilan sosial adalah sisi upaya rekayasa hukum yang menghadirkan kesejahteraan. Sebagaimana demokrasi tidak cukup hanya fasih sebagai sistem bernegara, juga diharapkan mampu menghadirkan kesejahteraan; maka hukum berkeindonesiaan tidak boleh menjadi macan kertas, tetapi diimpikan dapat melahirkan keadilan sosial yang menyejahterakan rakyat Indonesia.
Hukum berkonstitusi
Pada era reformasi, ukuran Pancasila yang relatif abstrak itu dicoba lebih dikonkretkan melalui uji materi di peradilan konstitusi. Dalam lima tahun terakhir, MK berupaya menjaga konstitusionalitas setiap undang-undang yang dilahirkan dari proses legislasi di Senayan.
Proses uji materi ini adalah capaian yang harus disyukuri. Harmonisasi idealitas Pancasila yang dalam beberapa kasus disimpangkan dalam proses legislasi, diluruskan MK dengan rambu konstitusionalitas UUD 1945. Dalam hukum yang berkeadilan sosial, misalnya, beberapa undang-undang yang terkait sumber daya alam—seperti UU minyak dan gas, UU sumber daya air, UU ketenagalistrikan— telah diuji konstitusionalitasnya berdasarkan Pasal 33 UUD 1945. Hasilnya, meski tidak dinyatakan bertentangan, tetapi dalam UU Ketenagalistrikan seluruh bangunan hukum divonis bertentangan dengan konstitusi sehingga diputuskan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Hukum berkeadilan
Capaian produk hukum kita yang berpancasila dan berkonstitusi tentu ada nilai plus-minusnya karena tidak ada produk hukum yang sempurna. Norma hukum selalu dinamis. Itulah sifat dasar hukum yang living and working.
Dalam konteks Indonesia kekinian, yang lebih merisaukan bukan law in the book tetapi law in action. Yang lebih mengkhawatirkan adalah maraknya praktik menyimpang mafia peradilan. Judicial corruption adalah virus yang sedang membunuh hukum berpancasila dan berkonstitusi. Akibatnya, hukum kehilangan salah satu roh dasarnya: keadilan. Seluruh insan penegak hukum harus berusaha untuk mengamputasi advokat, hakim, jaksa, polisi, akademisi yang terjangkiti virus jual-beli perkara hukum. Jajak pendapat terakhir oleh Political Economic Risk Consultancy (PERC) menunjukkan beratnya jalan perjuangan yang harus dilakukan karena sistem peradilan Indonesia dinobatkan sebagai yang terburuk di Asia.
Hukum berkeindonesiaan adalah ramuan hukum berpancasila yang selaras dengan nilai-nilai konstitusi dan roh keadilannya tidak terbajak praktik judicial corruption. Capaian produk hukum berkeindonesiaan telah, sedang, dan akan menghadapi tantangan, utamanya dari mafia peradilan, bahaya terbesar hukum berkeindonesiaan masa depan.
Denny Indrayana Staf Khusus Presiden Bidang Hukum; Dosen Hukum Tata Negara UGM
Tulisan ini disalin dari Kompas, 30 Oktober 2008