Tantangan buat Jenderal Sutanto

Jika Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui pilihan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Jenderal Sutanto akan menjadi Kepala Kepolisian RI yang baru. Ia menghadapi tantangan berat. Citra polisi tidak menggembirakan. Aparat berseragam cokelat ini kerap diolok-olok dengan pemeo: bila orang melapor kehilangan kambing, justru akan kehilangan sapi. Polisi dicap dekat dengan kekuatan ilegal yang semestinya diberantasnya.

Mungkin itulah yang membuat Presiden Yudhoyono, kepada kalangan dekatnya, sering mengatakan, Tak boleh ada kekuatan partikelir yang mengalahkan aparat negara. Sebagai mantan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, SBY sangat paham tentang menguatnya peran kekuatan dunia hitam setelah era reformasi bergulir, bahkan disinyalir merasuk hingga ke jajaran puncak aparat keamanan.

Agaknya, dalam upaya mengatasi ancaman itulah Komisaris Jenderal Sutanto diajukan Presiden Yudhoyono ke DPR. Lulusan terbaik akademi kepolisian pada 1973 ini dikenal selalu bersikap tegas terhadap sosok-sosok yang dikenal sebagai pemimpin mafia setempat.

Sutanto juga sangat mengetahui persoalan yang dihadapi polisi. Anggaran operasional yang minim membuat para komandan polisi mencari dana tambahan untuk membongkar kasus kejahatan. Sumber yang paling mudah membantu tentu para korban. Namun, tak semua korban memiliki banyak uang, sehingga diperlukan sumber lain.

Sumber lain itu adalah dana parman alias partisipasi preman. Dana itu berasal dari para pengusaha ilegal yang kegiatan kriminalnya tanpa korban karena berdasarkan hubungan saling membutuhkan--seperti bisnis pelacuran, judi gelap, dan jual-beli narkoba. Simbiosis mutualisme ini diterima kedua pihak tanpa rasa bersalah.

Pembenaran begini berusia pendek. Dana haram yang masuk ke kantong komandan polisi tak semuanya digunakan untuk kebutuhan dinas. Bahkan, karena pengelolaannya gelap dan tanpa aturan resmi, dana ini biasanya lebih banyak dipakai untuk keperluan pribadi. Itu sebabnya ukuran polisi jujur di Indonesia sekarang ini tak lagi seputih zaman Jenderal Hoegeng menjadi kepala polisi.

Kini Jenderal Sutanto diangkat untuk membalik citra negatif itu. Niatnya untuk membuat pengelolaan dana partisipasi masyarakat di kepolisian lebih transparan dan akuntabel sudah tepat. Apalagi memang banyak pemimpin pemerintah daerah yang reformis yang sudah menyatakan kesediaannya membantu anggaran polisi di wilayah mereka bila pengelolaannya dapat dipertanggungjawabkan. Ini bukan usul baru karena Ali Sadikin, ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta, telah melakukannya dengan sukses. Persoalannya sekarang: apakah Jenderal Sutanto dapat menjalankan niatnya tanpa tantangan berarti?

Tulisan ini merupakan tajuk rencana Koran Tempo, 4 Juli 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan