Tanggung Jawab Pemerintah dalam Penerimaan Siswa Baru
Setiap tahun penerimaan siswa baru selalu menyisakan banyak masalah. Tidak terkecuali pada tahun ajaran 2007/2008 yang usai beberapa hari lalu. Daya tampung minim disertai rumitnya berbagai persyaratan administrasi yang ditetapkan oleh dinas pendidikan dan sekolah serta beragamnya jenis biaya yang wajib disediakan membuat warga sulit mendapat tempat di sekolah.
Berdasarkan hasil monitoring dan laporan yang diterima Pos Pengaduan Penerimaan Siswa Baru yang dibuat beberapa lembaga peduli pendidikan, persyaratan administrasi yang ditetapkan sekolah sangat kaku dan cenderung mengada-ada. Sekolah mewajibkan calon siswa mengikuti psikotes dan membawa surat keterangan sehat dari dokter. Bahkan ada yang menjadikan ijazah taman kanak-kanak sebagai persyaratan utama masuk sekolah dasar.
Persoalan biaya lebih rumit lagi. Warga mesti menyiapkan uang sejak mendapat formulir pendaftaran. Jenis dan jumlah yang lebih banyak akan diminta apabila anak mereka dinyatakan lulus persyaratan administrasi. Apabila tidak sanggup menyediakan biaya yang ditetapkan sekolah, tempat akan diberikan kepada calon siswa cadangan yang selalu siap menggantikan.
Dalam penerimaan siswa baru, umumnya sekolah lebih memprioritaskan kemampuan keuangan daripada kemampuan akademis calon siswa baru. Karena itu, pos pengaduan banyak menemukan calon siswa baru yang gagal seleksi, tapi tetap diloloskan asalkan orang tua mereka sanggup menyediakan sejumlah uang yang diminta sekolah. Sudah tentu harganya beberapa kali lipat lebih mahal dibanding masuk melalui jalur normal.
Pemerintah memang kerap menyampaikan imbauan agar tidak ada lagi pungutan dalam penerimaan siswa baru. Tapi prakteknya, jumlah uang yang diminta sekolah justru telah melebihi batas kewajaran. Berdasarkan data hasil monitoring, di tingkat SD jumlahnya ada yang mencapai Rp 7,5 juta. Lebih parah lagi, pungutan tersebut dilakukan oleh sekolah yang berstatus negeri. Padahal pemerintah pusat ataupun daerah telah memberi banyak dana, antara lain bantuan operasional sekolah (BOS) atau bantuan operasional pendidikan (BOP).
Secara umum, jumlah biaya penerimaan siswa baru yang dikeluarkan warga bergantung pada tiga kondisi. Pertama, lokasi. Sekolah yang berada di daerah perkotaan jauh lebih mahal dibanding yang berada di daerah. Kedua, jenjang/level. Semakin tinggi tingkatan sekolah, semakin mahal biaya yang mesti disediakan. Ketiga, status. Sekolah yang memiliki label bergengsi, seperti sekolah standar internasional, nasional, atau unggulan, meminta biaya yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan sekolah reguler.
Korban utama proses penerimaan siswa baru yang rumit dan mahal adalah kelompok miskin. Mereka terpaksa melupakan harapan dapat sekolah karena modal yang dimiliki hanya minat dan semangat, sedangkan yang diminta sekolah adalah uang. Upaya mendapatkan hak pendidikan dari negara pada akhirnya dipatahkan oleh hasrat sekolah mengeruk banyak keuntungan.
Pemerintah lalai
Pada dasarnya, biaya yang ditarik dari orang tua calon siswa baru tidak memiliki makna apa pun bagi kepentingan pendidikan. Sebab, sebagian besar tidak digunakan untuk meningkatkan kualitas belajar-mengajar. Berdasarkan riset yang dilakukan Indonesia Corruption Watch, pungutan lebih banyak digunakan untuk kepentingan kepala sekolah ataupun birokrasi pendidikan.
Hal tersebut paling tidak tergambar dari banyaknya pungutan yang tidak jelas, misalnya ada sekolah yang meminta orang tua calon siswa baru membayar biaya pembuatan kolam ikan, pembuatan pagar atau taman, serta pembangunan atau rehabilitasi tempat ibadah. Beberapa jenis biaya yang telah dilarang pemerintah, seperti untuk membangun dan merehabilitasi sekolah atau membeli buku teks pelajaran, masih tetap marak. Selain itu, banyak sekolah hanya menyebutkan orang tua wajib membayar dana sumbangan pendidikan tanpa menulis perincian penggunaannya.
Artinya, tanpa ada pungutan penerimaan siswa baru pun, proses belajar-mengajar tidak terganggu. Apalagi sekolah telah mendapat dana dari pemerintah, pusat ataupun daerah, termasuk untuk kepentingan penerimaan siswa baru. Beberapa program malah digulirkan untuk mewujudkan sekolah gratis, seperti BOS yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau BOP yang bersumber dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Jakarta.
Tidak terkontrolnya pungutan dalam penerimaan siswa baru yang membuat warga kesulitan mendapat pelayanan pendidikan bukan hanya disebabkan oleh kerakusan sekolah. Dalam lingkup yang lebih luas, pemerintah semestinya dimintai pertanggungjawaban. Sebab, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengamanatkan agar pemerintah memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi
Secara yuridis pemerintah memiliki kewajiban memastikan warga mendapat pelayanan pendidikan. Cara merealisasinya antara lain dengan mengontrol dan menghilangkan berbagai pungutan yang dilakukan oleh sekolah, termasuk mendorong keterbukaan informasi. Tanpa itu, warga tidak akan mengetahui hak-hak yang mereka miliki dalam pendidikan dan prosedur untuk mendapatkannya.
Sayangnya, kewajiban tersebut dilalaikan. Atas nama otonomi, pemerintah menyerahkan proses penerimaan sepenuhnya kepada sekolah. Padahal alasan otonomi diabaikan ketika pemerintah mengintervensi kelulusan peserta didik dalam kebijakan ujian nasional. Pada sisi lain, sekolah dibiarkan merahasianegarakan mekanisme dan indikator penilaian penerimaan siswa baru serta keuangan. Tanpa dibekali informasi, warga dapat dengan mudah dijadikan obyek pemerasan sekolah.
Dengan demikian, secara tidak langsung pemerintah sebenarnya telah memberi lampu hijau kepada sekolah untuk menarik dana dari orang tua calon siswa baru. Itu sebabnya, walau uang yang diminta sekolah sangat besar dan banyak yang tidak jelas penggunaannya, pemerintah tidak akan memberi sanksi. Bagi sekolah, sikap tersebut merupakan angin segar. Mereka dengan sendirinya terpacu melakukan praktek serupa setiap tahun sehingga pungutan dalam penerimaan siswa baru tetap langgeng.
Ade Irawan, MANAJER MONITORING PELAYANAN PUBLIK INDONESIA CORRUPTION WATCH, SEKRETARIS KOALISI PENDIDIKAN
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 1 Agustus 2007