Tak Bisa Dipahami Tingkat Kemiskinan Tinggi, tetapi Dana Ditaruh di Bank
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai simpanan pemerintah daerah di perbankan yang mencapai Rp 96 triliun sebagai ironi di tengah keperluan dana yang besar untuk pembangunan. Pemerintah daerah diharuskan memanfaatkan dana itu untuk mendorong lebih cepat perekonomian di daerah.
Di tengah-tengah keperluan modal finansial yang besar untuk kepentingan pembangunan infrastruktur, serta untuk kepentingan berbagai usaha sektor riil, terdapat dana yang parkir atau menganggur dalam jumlah yang besar, ujar Presiden Yudhoyono saat memberikan keterangan di hadapan Sidang Paripurna Khusus Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Kamis (23/8).
Menurut Presiden, pada awal triwulan II tahun ini, posisi total simpanan seluruh pemerintah daerah (pemda) di Indonesia yang ditempatkan di perbankan sekitar Rp 96 triliun.
Sebagian besar simpanan pemda biasanya ditempatkan di bank pembangunan daerah (BPD) masing-masing.
Sebagai bagian dari manajemen portofolionya, dana pihak ketiga yang belum terpakai, termasuk dana pemda, disimpan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang bunganya dibayar Bank Indonesia. Hingga pertengahan Agustus 2007, simpanan semua BPD dalam bentuk SBI sekitar Rp 50 triliun.
Presiden menginstruksikan agar pemda memanfaatkan dana tersebut untuk pembangunan di daerah. Kalau tidak, kita berada dalam posisi yang merugi. Rakyat juga akan kecewa karena mereka tahu bahwa pemdanya bisa berbuat lebih banyak lagi untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan mereka, papar Presiden.
Presiden menilai rendahnya pemanfaatan dana oleh pemda terkait adanya hambatan dalam penyusunan dan pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hambatan tersebut menyebabkan terlambatnya pengesahan APBD di beberapa daerah sehingga akhirnya pelaksanaan program peningkatan kesejahteraan rakyat di setiap daerah juga terlambat.
Untuk itu, Presiden meminta dilakukan konsultasi dan koordinasi antara gubernur, bupati, wali kota dengan menteri dan para pejabat pemerintah pusat agar tidak ada keraguan dan ketakutan pejabat di daerah menggunakan dana APBD-nya.
Lembaga BPKP juga dapat memberikan asistensi dan konsultasi agar tidak ada kekeliruan dalam pengelolaan dana, kata Presiden.
Terkait rendahnya penyerapan anggaran, Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita meminta pemerintah pusat dan pemda memperbaiki pengelolaan keuangan negara dan sistem penganggarannya agar lebih efektif dan efisien lagi.
Langkah tersebut untuk menghindari penyerapan anggaran yang sangat rendah pada semester I-2007, dan penggunaan anggaran yang besar dalam waktu sangat singkat pada semester II.
Ini bisa menghasilkan kualitas pekerjaan yang rendah dan merangsang penyalahgunaan anggaran karena ingin cepat dihabiskan, kata Ginandjar.
Pakar ekonomi daerah yang juga Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, pemerintah pusat dan pemda sama-sama berkontribusi atas rendahnya penyerapan dana oleh pemda.
Menurut Bambang, sejumlah pemda selalu terlambat dalam mengesahkan APBD-nya, rata-rata enam bulan. Bahkan ada daerah yang APBD-nya baru disahkan setelah tahun fiskal APBD tersebut berjalan sembilan bulan, katanya.
Di sisi lain, dana perimbangan, terutama dana bagi hasil, telah dikirim pemerintah pusat tepat waktu. Terkait pemerintah pusat, Bambang menilai aturan pencairan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran terlalu rumit.
Ketua Asosiasi Bank Pembangunan Daerah Winny E Hasan menjelaskan, besarnya dana pemda di bank terjadi karena proses persetujuan APBD cukup panjang.
Setelah APBD disetujui, proyek pun harus ditenderkan terlebih dahulu sehingga juga butuh waktu. Setelah ditentukan pemenangnya, pemenang tender harus mengurus bank garansi atau modal kerja ke bank yang biasanya memerlukan waktu beberapa minggu.
Dikritik Menkeu
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengkritik sikap sejumlah pejabat pemda dalam urusan anggaran. Menurut dia, ada pemerintah daerah yang anggarannya surplus, tetapi pejabatnya masih minta uang. Sebaliknya, ada yang mengaku defisit, tetapi simpanannya di bank ternyata besar.
Menurut Menkeu, jika suatu daerah yang memiliki kebutuhan pembangunan sangat besar tetapi anggarannya tetap ditanamkan di perbankan, itu berarti ada persoalan dalam perencanaan anggaran.
Sungguh tidak bisa dipahami kalau daerah tersebut tingkat kemiskinannya tinggi, infrastrukturnya jelek, tapi dananya ditaruh di bank, ujarnya.
Menkeu juga mengatakan, untuk daerah yang memang sarana infrastruktur, pendidikan, dan kesehatannya bagus, penggunaan anggaran biasanya akan lebih hemat sehingga surplus anggaran harus dijaga dengan baik. Mungkin daerah yang surplus anggarannya perlu fund manager (pengelola dana), katanya.
Daerah yang mencatat surplus antara lain Kalimantan Timur sebesar Rp 2,5 triliun, sedangkan daerah yang defisit antara lain DKI Jakarta sebesar Rp 2,7 triliun, Jawa Tengah Rp 23,9 miliar, dan Irjabar Rp 150 miliar.
Uang itu kan dikumpulkan dari masyarakat dalam bentuk pajak, seharusnya dikembalikan lagi ke masyarakat, ujarnya. (FAJ/HAR/JOE)
Sumber: Kompas, 24 Agustus 2007
----------
Yudhoyono Kecewa Dana Daerah Diparkir di SBI
Pos yang semestinya untuk membangun daerah justru lebih banyak disimpan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia(SBI) dan produk-produk perbankan lainnya.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengkritik pemerintah daerah yang membiarkan dananya menganggur. Pos yang semestinya untuk membangun daerah justru lebih banyak disimpan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan produk-produk perbankan lainnya.
Hingga awal triwulan kedua 2007, total simpanan seluruh pemerintah daerah di bank sudah mencapai Rp 96 triliun. Adapun simpanan seluruh bank pembangunan daerah dalam bentuk SBI mencapai Rp 50 triliun hingga pertengahan Agustus ini.
Tentang banyaknya dana menganggur, Presiden berkomentar, Ini ironis di tengah kebutuhan dana besar untuk pembangunan infrastruktur dan sektor riil. Presiden menyampaikan hal ini saat membacakan nota keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2008 dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Jakarta kemarin.
Yudhoyono meminta pemerintah daerah segera memanfaatkan dana-dana menganggur itu bagi pembangunan daerah mereka. Tapi penggunaan dananya tetap harus memenuhi ketentuan perundang-undangan dan memenuhi asas manfaat. Kalau tidak, kita (pemerintah) akan merugi. Rakyat juga akan kecewa, katanya.
Kritikan serupa sebelumnya pernah disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam beberapa kesempatan. Negara, katanya, sakit dua kali gara-gara hal ini. Pertama, saat membayar bunga SBI. Kedua, ketika membayar SBI yang jatuh tempo.
Meski banyak dana daerah yang belum digunakan, menurut Presiden, pemerintah pusat tetap akan meningkatkan alokasi belanja ke daerah dari tahun ke tahun. Alokasi belanja ke daerah yang Rp 150,5 triliun (pada 2005) naik menjadi Rp 226,2 triliun (pada 2006). Kemudian, tahun ini alokasi dana tersebut meningkat menjadi Rp 252,5 triliun. Tahun depan, alokasi dana ke daerah direncanakan naik Rp 19,3 triliun menjadi sekitar Rp 271 triliun, kata Yudhoyono.
Wakil DPD dari DKI Jakarta, Sarwono Kusumaatmadja, mengatakan para pejabat di pusat dan daerah masih sama-sama belajar. Pemerintah pusat baru saja menerima sistem desentralisasi, sedangkan daerah sebagai pelaksana juga masih gagap. Ada rasa takut dan ragu-ragu menggunakan anggaran daerah, ujar Sarwono, Jadi, daripada dana itu menganggur, lebih baik dibelikan SBI dulu.
Sementara itu, Bupati Sukoharjo Bambang Riyanto membantah adanya penggunaan dana alokasi umum dari pemerintah pusat untuk membeli instrumen investasi SBI. Kepala daerah di Jawa, katanya, sulit bermain-main dengan dana yang alokasi penggunaannya sudah jelas diatur dalam APBD.
Namun, Bambang, yang juga Sekretaris Badan Kerja Sama Kabupaten Seluruh Indonesia, mengakui ada kalanya pemerintah daerah menyimpan terlebih dulu dana dari pusat dalam deposito perbankan. Itu dilakukan karena menunggu realisasi kegiatan pembangunan atau proyek. Misalnya, proses tender (proyek) belum selesai pada tahun anggaran berjalan sehingga disimpan dulu uang itu, ujarnya. Tapi biasanya tak lama, hanya sekitar enam bulan.
Menurut Sarwono, pemerintah pusat seharusnya lebih tegas menetapkan aturan, terutama soal norma-norma tata keuangan. Sosialisasinya harus lebih gencar, katanya. Di lain pihak, pemerintah daerah sebagai pelaksana dituntut juga agar lebih bertanggung jawab kepada rakyat.PADJAR | YULIAWATI | RAFLY WIBOWO | IMRON ROSYID
Sumber: Koran Tempo, 24 Agustus 2007