Tagih Jakgung Tindak Jaksa Nakal

Sembilan LSM yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Kejaksaan (KPK) kemarin mendatangi Gedung Bundar Kejagung. Mereka menagih janji Jaksa Agung Abdul Rachman Saleh soal penindakan terhadap jaksa nakal yang dicurigai melakukan jual beli perkara.

LSM itu terdiri atas MaPPI (Masyarakat Pemantau Peradilan) FHUI, LBH Makassar, LBH Semarang, LBH Bandung, Indonesian Court Monitoring (ICM) Jogjakarta, LPKK Sumatera Utara, Somasi NTB, Sanksi Borneo, dan YPSDI Surabaya.

Mereka dikoordinatori Hasril Hertanto dari MaPPI FHUI. Sedianya, mereka bermaksud menemui Arman -panggilan Abdul Rachman Saleh. Tapi, yang bersangkutan menghadiri program PIN (Pekan Imunisasi Nasional) di Denpasar. Hasril dkk ditemui JAM Intelijen Mochtar Arifin dan Kapuspenkum Masyhudi Ridwan.

Kami datang untuk menagih janji jaksa agung terkait penindakan atas jaksa yang diduga melakukan jual beli perkara, kata Hasril seusai pertemuan.

Sebelumnya, KPK menyerahkan temuan investigasi perilaku jaksa di sembilan daerah selama Juni-Agustus 2005. Kedatangan Hasril dkk juga kembali melimpahkan temuan investigasi pada September-November 2005 meski laporan terdahulu belum ditindaklanjuti.

Dalam investigasi selama enam bulan, KPK melakukan eksaminasi publik atas 24 perkara dakwaan dan tuntutan. Juga, melakukan investigasi atas 78 jaksa di 21 kabupaten dan kota. Hasilnya, ada lima poin kesimpulan, kata Hasril.

Pertama, ungkapnya, integritas jaksa di daerah buruk. Kedua, kinerja jaksa tidak profesional dalam menyusun surat dakwaan dan tuntutan. Ketiga, judicial corruption dilakukan jaksa dalam bentuk pemerasan dan praktik jual beli perkara masih membudaya. Keempat, pengawasan internal kejaksaan tidak berjalan efektif dan optimal. Kelima, Kejagung dinilai belum optimal menindaklanjuti temuan KPK yang terdahulu.

Di Jatim (Surabaya, Tulungagung, Blitar, dan Lumajang), KPK menemukan enam jaksa yang terindikasi melakukan professionalism dan judicial corruption untuk perkara penganiayaan, perjanjian ekspor-impor, judi, dan BBM ilegal. Dua jaksa diperiksa kejati. Untuk kasus BBM ilegal, digelar sidang singkat dan sembunyi-sembunyi, jelasnya. Selebihnya, ada tuntutan lebih ringan daripada rencana tuntutan yang tidak dilaporkan ke kejati.

Lantas, di Jateng (Semarang, Temanggung, dan Kendal), tiga jaksa terindikasi melakukan judicial corruption Rp 2 juta untuk kasus penganiayaan, pemerkosaan, dan korupsi . Jenisnya adalah meminta uang ke pelapor bila ingin mencabut perkaranya, beber Hasril.

Di DI Jogjakarta (Jogjakarta, Sleman, dan Wates), tiga jaksa terindikasi melakukan judicial corruption Rp 15 juta-Rp 30 juta untuk kasus judi, penganiayaan, dan narkoba. Anehnya, kata Hasril, satu jaksa bermasalah justru dipromosikan di kejati sekaligus menduduki jabatan Kasi prapenuntutan.

Kami punya bukti dalam bentuk CD yang berisi pesan pendek pemerasan oleh jaksa, ungkap Hasril. Selanjutnya, di Jabar (Bandung, Sumedang, dan Ciamis), ada lima jaksa yang terindikasi judicial corruption Rp 1 juta-Rp 6 juta untuk kasus penganiayaan, tanah, dan pencurian.

Di Medan, Sumut, ditemukan tiga jaksa yang mematok tarif judicial corruption Rp 2,5 juta-Rp 5 juta (bahkan Rp 3,5 miliar) untuk kasus jual beli tanah, penganiayaan, dan penipuan MLM. Ada bukti pengambilan uang titipan Rp 3,5 miliar di Bank Indonesia Cabang Medan oleh JPU dan hakim, jelasnya.

Di Mataram, NTB, jaksa mematok tarif Rp 36 juta. Sedangkan tarif judicial corruption di Sulsel (Bulukumba, Makassar, dan Maros) dipatok Rp 35 miliar. Dan, di Kalsel (Martapura, Banjar Baru, dan Banjarmasin) Rp 3 juta-Rp 50 juta.

Atas temuan itu, KPK minta jaksa agung menindak tegas jaksa itu dengan memprosesnya ke pengadilan umum. Jaksa agung juga perlu membuat mekanisme pengawasan kinerja dan perilaku jaksa baik di dalam maupun di luar kedinasan, pungkas Hasril.

Bagaimana tanggapan Kejagung? Kapuspenkum Kejagung Masyhudi Ridwan menegaskan, jaksa agung akan mempelajari temuan itu. Aspirasi itu perlu dihargai. Ini bentuk partisipasi masyarakat terhadap pemberantasan korupsi, jelas Masyhudi. Masyarakat juga diminta mencegah judicial corruption dengan tidak memberikan peluang kepada jaksa untuk bermain-main perkara. (agm)

Sumber: Jawa Pos, 1 Desember 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan