Syafruddin Serahkan Dokumen Meringankan
Tak ada peluang bagi mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsjad Temenggung untuk menghindar dari jerat hukum. Kejati DKI sudah menyiapkan serangkaian strategi. Antara lain, memeriksa 15 saksi yang pernah diperiksa sebelumnya.
Pemeriksaan para saksi tersebut hanya formalitas. Sebab, dalam tahap penyelidikan, mereka sudah diperiksa. Diharapkan keterangannya nanti tidak berbeda dengan sebelumnya.
Syafruddin menjadi tersangka kasus dugaan korupsi penjualan pabrik gula PT Rajawali III Gorontalo (dulu PT Rajawali Nusantara Indonesia). Tapi, dia menilai peningkatan perkara tersebut ke penyidikan terlalu prematur. Syaf mengaku belum ditanyai penyidik terkait kebijakan menjual aset BUMN senilai Rp 600 miliar tersebut.
Asisten Intelijen (Asintel) Kejati DKI Faried Hariyanto mengatakan, untuk membuktikan dugaan tersebut, mantan bawahan Syaf di BPPN akan diperiksa. Demikian juga pemenang tender (Konsorsium Bapindo Bumi Sekuritas/BBS), pemegang saham (Deluxe International Ltd), dan konsultan penilai independen (PT Danareksa Sekuritas).
Juga tiga peserta tender di luar konsorsium BBS. Mereka adalah Konsorsium Tiga Pilar Sekuritas, PT Alberta Investment, dan Bullion Park Investment Ltd.
Faried membantah kalau proses hukum kasus Syaf dikatakan berjalan mendadak. Kejati DKI sudah berbulan-bulan menyelidiki dugaan korupsi itu. Penyelidikan dimulai akhir Juli 2005. Saya selaku koordinator penyelidikan mulai memanggil orang dan mengumpulkan data (pool data) Agustus 2005.
Penyelidik bahkan pernah mengunjungi Gorontalo untuk mencari data. Penyelidikan ditingkatkan ke tahap penyidikan sejak Jumat lalu. Kebetulan berbarengan dengan pemeriksaan Syafruddin. Karena itu, Faried juga menolak tudingan bahwa Kejati DKI merebut kasus itu dari KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Sementara itu, tim pengacara Syaf kemarin mendatangi Kejati DKI untuk menyerahkan segepok dokumen terkait penjualan PT Rajawali III Gorontalo. Langkah itu sekaligus merespons pernyataan Kepala Kejati DKI Rusdi Taher tentang terjadinya kerugian negara Rp 516 miliar dalam penjualan aset dan saham pabrik gula tersebut.
Para pengacara itu adalah Amir Syamsuddin, Juan Felix Tampubolon, Frans Hendra Winarta, Indriyanto Seno Adji, Juniver Girsang, Didi Syamsuddin, dan Wimboyono Seno Adji. Praktisi hukum Hinca I.P. Panjaitan yang juga ombudsman Jawa Pos hadir.
Amir mengakui, kedatangannya untuk mengklarifikasi pernyataan Rusdi. Diharapkan dengan dokumen tersebut, tim penyidik bisa lebih memahami kronologi dan aspek hukum penjualan aset PT Rajawali.
Wakajati DKI Jakarta Rudy Prajitno menyatakan, dokumen tersebut segera diberikan kepada Kajati dan diserahkan kepada tim penyidik. Proses penyidikan tidak terpengaruh dengan adanya dokumen tersebut, tegas Rudy.
Malah, Faried mengaku penyidik sudah mempunyai seluruh dokumen tersebut.
Poin penting dalam dokumen itu adalah alasan penjualan aset PT Rajawali III Gorontalo di bawah nilai buku. Dalam dokumen itu terungkap, yang dijual adalah saham dan hak tagih senilai Rp 95 miliar. Nilai buku pabrik gula yang pernah dimiliki Prayogo Pangestu itu mencapai Rp 632 miliar.
Penjualan aset PT Rajawali III Gorontalo melalui dua tahap dalam program PPAS (Program Penjualan Aset Strategis). Tahap pertama, 12 Mei 2003, diikuti dua investor yang berakhir tanpa pemenang. Harga penawaran di bawah patokan BPPN, yakni 13,74 persen atau Rp 86,9 miliar.
Tahap II, 29 Juli hingga 20 Oktober 2003. Kala itu ada empat investor bidder (penawar). Yakni, Konsorsium Tiga Pillar Sekuritas, PT Alberta Investment, Konsorsium Bapindo Bumi Sekuritas, dan Bullion Park Inv. Penawar terakhir digugurkan karena tidak melengkapi persyaratan administratif.
Pemenangnya Konsorsium Bapindo Bumi Sekuritas dengan nilai tawaran 15,01 persen atau Rp 95 miliar. Nilai tawaran itu masih dalam taksiran penilai independen PT Danareksa Sekuritas, yaitu Rp 69,2 - Rp 115,48 miliar atau 11 - 18 persen.
Penjualan di bawah harga didasarkan kenyataan bahwa pabrik gula tersebut pernah merugi. Pada 2002 kerugian mencapai Rp 14 miliar, EBITDA 2002 Rp 12 miliar; dan produk yang dihasilkan tidak bisa berkompetisi dengan produk pabrik lain.
Kapasitas terpakai juga hanya 50 persen dari kapasitas terpasang. Pabrik itu hanya memiliki kebun yang mampu menyuplai 40 persen kebutuhan bahan baku. Pabriknya juga pernah terbakar. (agm)
Sumber: Jawa Pos, 7 Februari 2006