Syafruddin Menjadi Tersangka

Bekas bos Badan Penyehatan itu ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penjualan saham serta hak tagih pabrik gula Rajawali III di Gorontalo.

Walaupun sudah dibubarkan dua tahun lalu, wajar saja bila masih banyak pertanyaan tersisa sekitar Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Orang kerap bertanya, mengapa badan itu mengobral aset negara dengan harga kelewat murah? Benarkah aset negara itu tak menarik pembeli dan terpaksa banting harga ketimbang membusuk? Satu per satu pertanyaan itu semogalah akan terjawab ketika Kejaksaan Tinggi Jakarta memeriksa bekas Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin Temenggung. Bekas bos Badan Penyehatan itu ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penjualan saham serta hak tagih pabrik gula Rajawali III di Gorontalo.

Syafruddin adalah orang pertama di badan itu yang menyandang predikat tersangka. Agaknya masih banyak lagi proyek yang perlu dipertanyakan kepada pejabat Badan Penyehatan lain yang pernah memimpin badan itu.

Kita tahu badan yang ditugasi menyehatkan perbankan pada awal-awal krisis ekonomi itu hampir sepanjang hidupnya selalu diliputi dengan kontroversi. Maklum, lembaga mini ini dulu dilengkapi dengan kewenangan sangat besar, dari menangani penutupan bank; mengambil alih aset-aset milik debitor dan konglomerat pemilik bank bermasalah; hingga penjualan aset.

Yang paling mendapat sorotan tajam, selain obral aset, terutama menjelang penutupan badan itu, proses penjualan aset dianggap tidak transparan. Badan itu hanya berhasil mencapai tingkat pengembalian aset (recovery rate) 28 persen. Artinya, sisanya, sekitar Rp 430 triliun, menjadi beban seluruh rakyat Indonesia dalam anggaran negara. Lebih buruk lagi, disinyalir aset-aset tersebut dibeli oleh pemilik lama--debitor-debitor bandel bank yang sudah ditutup atau diambil alih pemerintah--yang sebenarnya dilarang memiliki asetnya kembali.

Akibat tindakan debitor nakal itu sungguh buruk. Pemerintah harus mengalihkan pos-pos kesejahteraan masyarakat menjadi biaya bunga obligasi rekapitalisasi bank-bank yang besarnya sekitar Rp 80 triliun tiap tahun. Masyarakat terpaksa harus menikmati kenaikan bahan bakar minyak, tarif listrik, dan yang lain, akibat minimnya anggaran negara.

Dengan memberikan gambaran tadi, koran ini tidak mengatakan penjualan semua aset Badan Penyehatan tidak beres. Tapi Koran ini mendukung pemeriksaan kasus-kasus Badan Penyehatan agar masyarakat tahu jelas tentang segala sesuatu menyangkut penjualan aset negara itu. Dalam kasus Rajawali III, sebagai contoh, masyarakat perlu tahu apakah aset bernilai buku Rp 632,8 miliar itu wajar bila dijual oleh Badan Penyehatan hanya dengan Rp 95 miliar?

Jika semua bisa dijelaskan, dan tak ada prosedur yang dilanggar, atau proses penjualan yang ditutup-tutupi, tidak perlu ada resistensi berlebihan. Para mantan pejabat Badan Penyehatan Perbankan Nasional tidak dikecualikan dari kewajiban sebagai bagian masyarakat yang perlu ikut mendorong upaya pemberantasan korupsi dan kolusi, termasuk yang terjadi di masa-masa lalu.

Tulisan ini merupakan tajuk rencana Koran Tempo, 7 Februari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan