Syafruddin Diperiksa; Ditanya Seputar Penjualan Kapal Tanker Raksasa
Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional atau BPPN Syafruddin Temenggung diperiksa sepuluh jam terkait penjualan dua kapal tanker raksasa atau very large crude carrier/VLCC. Selaku anggota Dewan Komisaris Pertamina, Syafruddin ditanya seputar persetujuan Dewan Komisaris PT Pertamina untuk menjual VLCC.
Syafruddin yang diperiksa mulai pukul 09.00 hingga 18.57 di Kejaksaan Agung, Selasa (14/8), tidak berkomentar banyak. Seusai pemeriksaan, Syafruddin hanya mengatakan dirinya ditanya sekitar 15 pertanyaan. Secara substantif tidak lebih dari 15 pertanyaan, kata Syafruddin.
Saat ditanya wartawan mengapa Dewan Komisaris PT Pertamina menyetujui penjualan tanker raksasa milik Pertamina itu, Syafruddin hanya menjawab, No comment.
Direktur Penyidikan Bagian Tindak Pidana Khusus Kejagung Muhammad Salim mengatakan, pemeriksaan Syafruddin terkait dengan posisi Syafruddin saat penjualan tanker itu selaku anggota Dewan Komisaris PT Pertamina. Komisaris kan harus mengetahui kejadian itu, kata Salim.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kemas Yahya Rahman, kemarin, meralat pernyataannya. Semula, Kemas mengatakan, Syafruddin diperiksa terkait perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Namun, seusai pemeriksaan Syafruddin, Kemas mengatakan Syafruddin diperiksa terkait kasus penjualan kapal tanker raksasa Pertamina (VLCC).
Kalau diperlukan, Pak Syafruddin bersedia untuk datang lagi, sedangkan untuk BLBI, Pak Syafruddin juga menyatakan kesediaannya untuk datang, kata Kemas.
Dalam kasus ini, Direksi Pertamina bersama-sama Komisaris Utama, tanpa persetujuan Menteri Keuangan melakukan divestasi dua tanker raksasa (VLCC) Hull 1540 dan 1541 pada 11 Juni 2004. Kapal tanker itu masih dalam tahap pembuatan di Hyundai Heavy Industries di Ulsan, Korea Selatan. Kapal itu dijual kepada Frontline dengan harga 148 juta dollar AS. Hal itu bertentangan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 1991 karena persetujuan Menteri baru terbit 7 Juli 2004.
Akibat penjualan tanker itu diduga negara telah dirugikan antara 20 juta-56 juta dollar AS karena harga VLCC saat itu berkisar antara 204 juta-240 juta dollar AS.
Kasus BLBI
Dalam kesempatan terpisah, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berharap pemerintah serius menyelesaikan kasus BLBI. Apalagi, kerugian negara yang ditimbulkan BLBI sangat nyata.
Saat ini masyarakat bertanya-tanya. Sudah empat presiden, termasuk SBY, kok BLBI ini seperti tidak tersentuh, ujar Sekretaris Jenderal DPP PPP Irgan Chairul Mahfiz kepada wartawan di Jakarta, Selasa kemarin.
Menurut Irgan, jika ada tersangka yang tidak kooperatif, pemerintah perlu memperlihatkan ketegasan agar ada efek jera bagi pelaku. Langkah tegas juga perlu ditegakkan bagi saksi yang tidak mengindahkan aparat hukum.
Kejaksaan Agung hari Senin lalu mengimbau semua pihak untuk bersedia datang memenuhi undangan Kejaksaan terkait kasus BLBI. Sesuai kewajiban hukum, apabila diundang aparat hukum, masyarakat wajib datang untuk memberikan keterangan sebagaimana yang diketahui.
Menurut Kemas, sejauh ini ada beberapa kendala penanganan kasus BLBI, yakni pihak yang dipanggil tak datang atau datang tanpa membawa data yang diperlukan. Kondisi itu menghambat proses hukum yang ditangani Kejagung, yang sebelumnya menargetkan penyelidikan tuntas dalam tiga bulan. (VIN/MAM/IDR)
Sumber: Kompas, 15 Agustus 2007