Susno dan Perlindungan Saksi
Akhirnya gugatan praperadilan yang diajukan Susno Duadji tidak dikabulkan oleh majelis hakim yang menyatakan penahanan Susno telah dilakukan kepolisian dengan sah.
Meskipun demikian, publik menduga, Susno dijerat dalam kasus korupsi karena ”balas dendam” institusi kepolisian setelah Susno membongkar sejumlah kasus yang melibatkan para petingginya.
Kasus Susno terkesan dicari-cari sebagai balasan dan contoh bagi siapa pun yang hendak membongkar korupsi di kepolisian akan bernasib seperti Susno. Susno sendiri sosok kontroversial.
Belum hilang dari ingatan kita bagaimana Susno sebagai Kabareskrim tahun lalu menjadi ujung tombak bagi pelemahan KPK. Berbagai kepentingan politik yang hendak membonsai KPK dan mengkriminalkan pimpinannya bertumpu pada peran Susno waktu itu.
Akan tetapi, dalam konteks perlindungan saksi, orang yang membongkar kejahatan seperti Susno harus mendapat perlindungan. Walaupun dia bagian dari sistem yang korup, perannya sebagai pelapor (whistleblower) dalam mafia kasus di kepolisian harus dihargai dan berhak mendapatkan perlindungan. Apalagi dalam pemberantasan korupsi, kasus korupsi besar biasanya hanya bisa dibongkar oleh salah satu pelaku yang terlibat.
Tanpa peran Susno yang rekam jejaknya mungkin tak berbeda dengan polisi lain, praktik korupsi dan mafia kasus di tubuh kepolisian tidak akan pernah terungkap. Susno telah melakukan langkah awal menunjukkan berbagai persoalan yang ada di tubuh kepolisian sehingga bisa menjadi petunjuk dari mana reformasi dan pembersihan polisi bisa dimulai.
Atas jasanya, sudah selayaknya ia mendapatkan perlindungan. Paling tidak kasusnya ditunda dulu sampai kasus Gayus Tambunan dan sejumlah kasus lain yang diungkap Susno dituntaskan.
Perlakuan kepolisian menimbulkan pertanyaan karena dalam banyak kasus lain yang ditangani sering kali tak dilakukan penahanan terhadap tersangka. Sejumlah kasus bahkan berlarut-larut proses hukumnya.
Karena penahanan terhadap tersangka korupsi bukan prosedur standar di kepolisian seperti di KPK, tentu saja dugaan motif balas dendam institusi kepolisian tak bisa dielakkan. Bila kasus Gayus dan kasus korupsi lain melewati jalan biasa yang berliku dan macet, untuk Susno, polisi menyediakan jalan bebas hambatan dengan kecepatan tinggi.
Mencermati putusan hakim dalam gugatan praperadilan yang diajukan Susno, perspektif perlindungan saksi tidak tampak dari putusan hakim. Majelis hakim mengambil keputusan berdasarkan kacamata yuridis dan mengabaikan fakta- fakta sosiologis dan politis di balik penangkapan dan penahanan Susno.
Boleh jadi apa yang dilakukan kepolisian secara prosedural hukum benar adanya. Namun, dengan mengedepankan pertimbangan teknis yudisial justru hakim gagal memberikan keadilan substantif dalam putusannya, yakni memberikan perlindungan dan penghargaan pada pelapor.
Padahal, keadilan substantif semestinya lebih dikedepankan untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi peradilan yang terpuruk dalam mafia peradilan. Putusan itu jelas menunjukkan lembaga pengadilan tak memihak pada pelapor dan tak melihat pentingnya peran mereka untuk membongkar kasus korupsi yang lebih besar.
Sesungguhnya hukum tak berada di ruang hampa. Hukum dan peraturan adalah produk politik yang dihasilkan melalui proses politik. Meskipun lembaga peradilan sebagai pemegang otoritas tunggal interpretasi hukum bersifat independen, aktor di dalamnya tak bisa dilepaskan dari proses politik dan dinamika masyarakat.
Bukankah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi juga dipilih eksekutif bersama DPR? Jika hanya melandaskan sebuah putusan pada aspek prosedural hukum, hukum akan kehilangan fungsi esensial untuk memberikan keadilan dan menjadi motor pendorong dalam pemberantasan korupsi.
Implikasi
Putusan hakim yang menolak gugatan praperadilan Susno telah dijatuhkan. Sang jenderal kontroversial akan tetap ditahan dan proses hukumnya akan diteruskan kepolisian. Namun, ada sejumlah implikasi menyusul putusan hakim itu.
Pertama, putusan itu lagi-lagi telah menempatkan institusi pengadilan umum sebagai bungker para koruptor. Dokumentasi dan analisis putusan kasus korupsi yang dibuat ICW menunjukkan lebih banyak kasus korupsi divonis bebas (50 persen lebih), jauh lebih besar daripada yang divonis bersalah.
Dalam konteks Susno, lembaga pengadilan justru memberikan dukungan pada kepolisian untuk menghambat pemberantasan korupsi. Dengan putusan itu, kebijakan kepolisian yang melakukan pembalasan terhadap pembongkar kasus korupsi mendapatkan legitimasi hukum.
Kedua, keputusan untuk menahan Susno juga memberikan legitimasi hukum bagi polisi yang menolak campur tangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang hendak memberikan perlindungan terhadap Susno dengan menempatkannya di rumah aman.
Vonis majelis hakim kembali memberikan dukungan pada polisi bahwa apa yang dilakukan oleh polisi adalah kebijakan tepat. Implikasinya, publik akan melihat ketidakberdayaan LPSK sebagai institusi baru.
Terbongkarnya konspirasi perlindungan untuk Anggodo dalam kasus Bibit-Chandra telah menurunkan secara drastis kepercayaan publik terhadap LPSK. Dan kepercayaan itu akan semakin tergerus manakala publik menyaksikan LPSK tidak mampu memberikan perlindungan terhadap pelapor seperti Susno.
Dalam jangka panjang, ini ancaman yang sangat serius bagi pemberantasan korupsi karena pembongkaran kasus korupsi sangat bertumpu pada keberadaan para pelapor ini.
Agar pemberantasan korupsi tidak mundur dan polisi mampu keluar dari citra korup yang menjeratnya, harus ada sejumlah tindakan. Pertama, kejaksaan yang akan melakukan penuntutan harus memprioritaskan kasus yang dibongkar Susno. Kita tentu berharap kejaksaan memiliki spirit pemberantasan korupsi dan perlindungan saksi, bukan perlindungan terhadap koruptor.
Kedua, publik harus memberikan dukungan kepada KPK untuk membersihkan polisi dari kasus korupsi. Dari kasus Susno tampak jelas polisi tak cukup mampu memberantas korupsi karena jerat korupsi sudah menggurita sehingga keberadaan lembaga independen seperti KPK semestinya bisa jadi jalan keluar. Institusi kepolisian telah dibajak oleh kepentingan koruptor sehingga sangat sulit melakukan pembersihan.
Berbagai survei menempatkan kepolisian sebagai institusi korup. Tugas KPK, turut menangani atau melakukan supervisi guna menjaga spirit pemberantasan korupsi dan perlindungan pada pelapor.
J Danang Widoyoko Koordinator Badan Pekerja ICW
Tulisan ini disalin dari Kompas.com, Rabu, 2 Juni 2010 | 09:19 WIB