Survei Parlemen; Menepis Mimpi Perubahan

Sesaat setelah terpilih menjadi wakil rakyat pada Pemilu 2009, bertumpuk harapan digantungkan ke pundak anggota DPR. Wajar jika publik berharap banyak kepada 560 sosok anggota DPR baru itu lantaran berbagai kelebihan yang dimiliki mereka.

Bagaimana tidak, sepanjang sejarah keberadaan para wakil rakyat di negeri ini, periode kali inilah yang mencatatkan komposisi potensi kualitas individu yang paling menjanjikan. Periode kali ini, misalnya, tidak kurang dari dua pertiga bagian kursi legislatif diisi oleh sosok baru. Hanya sepertiga sisanya diduduki oleh mereka yang tergolong sosok lama yang sebelumnya berkiprah di bangku legislatif. Periode-periode sebelumnya, mereka yang berkali-kali tercatat sebagai anggota legislatif tampak cukup besar menguasai komposisi DPR.

Lebih menyegarkan lagi tatkala mengetahui sosok yang muncul berusia lebih muda. Hal itu semakin diperkuat pula oleh kualitas jenjang pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anggota DPR periode-periode sebelumnya. Singkat kata, dengan membandingkan kondisi komposisi latar belakang para anggota DPR, periode kali ini merupakan yang terbaik daripada periode-periode sebelumnya.

Wajah baru, usia muda, dan pendidikan lebih tinggi adalah potensi. Inilah modal yang didaulat menjadi tumpuan akan terjadinya berbagai perubahan, baik sosial, politik, maupun ekonomi di negeri ini. Paling tidak, melalui berbagai fungsi yang diembannya, para wakil rakyat kali ini sepantasnya jauh lebih baik dibandingkan dengan masa sebelumnya.

Namun, jelang setahun melenggang, toh kepuasan publik terhadap kinerja para wakil rakyat tidak juga menonjol. Setidaknya dari kacamata publik yang notabene merupakan konstituen mereka, tidak banyak perbedaan yang tampak pada kinerja mereka. Dalam setiap momen pengumpulan opini publik yang berupaya merekam tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja DPR, misalnya, justru kerap kali ekspresi ketidakpuasan yang menyeruak. Menyikapi situasi semacam ini, masihkah ada harapan terjadinya perubahan?

Batu sandungan
Berharap bakal terwujudnya perubahan dikhawatirkan akan menjadi hanya sebatas harapan. Sejauh ini tidak tertutup memang bakal terjadinya suatu perubahan. Hanya kalkulasi terhadap peluang para wakil rakyat untuk memotori terjadinya perubahan di negeri ini tidak terlalu menggembirakan tampaknya. Bisa demikian lantaran orientasi penyikapan anggota DPR saat ini yang cenderung ”konservatif ” dalam melihat berbagai permasalahan.

Hasil survei yang secara khusus dilakukan terhadap 109 anggota DPR periode kali ini menunjukkan dukungan terhadap kecenderungan semacam ini. Paling tidak, terdapat tiga pengelompokan pola orientasi penyikapan yang cenderung mempertahankan apa yang berlangsung selama ini dalam dimensi persoalan politik, sosial, ataupun ekonomi.

Pertama, terkait dengan persoalan politik. Kecenderungan pemilihan upaya pengaturan, pengontrolan, ataupun larangan lebih banyak dinyatakan oleh responden yang disurvei dibandingkan dengan pilihan pada upaya penciptaan kebebasan berekspresi. Dalam produk rezim pengontrolan, seperti pengawasan, pelarangan terhadap kebebasan ekspresi, seperti buku, film, internet, informasi publik, organisasi massa berhaluan kiri, hingga keyakinan individu kepada suatu kelompok keyakinan/beragama secara konsisten lebih banyak diminati ketimbang pilihan sebaliknya, seperti upaya pembebasan peredaran buku, sensor karya seni, kebebasan mendapatkan dan menyebarkan informasi publik, ataupun kebebasan berideologi hingga beragama.

Kedua, terkait dengan berbagai persoalan sosial kemasyarakatan, khususnya yang bersinggungan dengan aspek moralitas. Bagi responden survei ini, penjagaan nilai-nilai moralitas dalam kehidupan sosial kemasyarakatan harus ditata melalui superaturan. Demikian juga dalam sebagian besar benak mereka, pemerintah sebaiknyalah yang lebih banyak berperan dalam penjagaan moral masyarakat. Pandangan demikian paralel dengan penilaian mereka bahwa moralitas bukanlah menjadi wilayah tanggung jawab individu.

Ketiga, berkaitan dengan orientasi penyikapan di bidang perekonomian. Fokus utama kajian di bidang ini terkait dengan posisi ataupun peran pemerintah. Konsisten dengan persoalan politik dan sosial, eksistensi pemerintah kembali diharapkan. Bagian terbesar responden menganggap bahwa pemerintah yang sebaiknya mengendalikan perekonomian dan dunia bisnis dibandingkan dengan mereka yang menganggap bahwa perekonomian dan dunia usaha sebaiknya dilepaskan kepada kalangan swasta dan masyarakat.

Menonjolnya keinginan adanya pengaturan dan kehadiran pemerintah ini terus-menerus dikaitkan dalam setiap persoalan yang dikaji. Tampaknya, inilah bagian dari bibit-bibit ”konservatisme” dalam bersikap yang bisa jadi akan menjadi batu sandungan bagi terwujudnya suatu perubahan.

Ragam penyikapan
Sebenarnya hasil survei ini menunjukkan bahwa orientasi penyikapan yang dinyatakan dalam menilai beragam persoalan ini tidak saling terpolarisasi secara ekstrem. Berdasarkan sistem skala yang digunakan, sekalipun bagian terbesar responden tergolong bersifat konservatif, pola penyikapan yang ditunjukkan tidak bertumpu pada kutub ekstrem konservatisme. Demikian pula dalam kutub penilaian sebaliknya, yang cenderung ”liberal” lebih banyak berkumpul pada wilayah yang cenderung ”agak liberal” ketimbang ”ekstrem liberal”. Artinya, pada situasi pola penyikapan yang bersifat kontinu semacam ini, bagian terbesar responden masih menyisakan ruang bagi penyikapan yang sebaliknya. Dengan demikian, perubahan-perubahan pola penyikapan masih dimungkinkan terjadi.

Pada sisi lain, survei ini juga menunjukkan orientasi pola penyikapan responden tampak berbeda-beda jika dikaitkan dengan latar belakang responden itu sendiri (lihat Grafik). Terlihat paling menonjol bahwa latar belakang partai politik atau kelompok partai pada kenyataannya membedakan orientasi penyikapannya. Anggota DPR yang berasal dari partai-partai yang dikenal sebagai parpol pendukung pemerintah, misalnya, lebih condong berorientasi terhadap kelanggengan pada berbagai permasalahan ketimbang kehendak terakomodasinya suatu perubahan.

Di sisi lain, bagi mereka yang berasal dari partai nonpendukung pemerintah, kecenderungan keluar dari pola penyikapan yang konservatif ini lebih besar dibandingkan dengan responden pendukung pemerintah. Namun, terdapat kontradiksi, dalam persoalan perekonomian, responden yang berasal dari partai nonpendukung pemerintah justru memiliki penyikapan yang cenderung konservatif, yaitu berharap penuh campur tangan pemerintah terhadap aspek bisnis dan perekonomian.

Pada aspek latar belakang lainnya, seperti jenis kelamin, agama, dan pendidikan, responden diketahui kehadirannya secara berbeda-beda. Memang terdapat perbedaan orientasi penyikapan antara perempuan yang cenderung konservatif dibandingkan laki-laki dalam melihat beberapa persoalan. Demikian juga pemilahan kategori agama, apabila terpisahkan antara mereka yang beragama Islam dan selain Islam. Khusus dalam pendidikan, tampaknya tidak terlihat perbedaan yang signifikan di antara mereka yang berpendidikan berbeda. (Bestian Nainggolan-Litbang Kompas)
Sumber: Kompas, 15 Juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan